Juara 3 Kategori Mahasiswa : “Mengembalikan Jati Diri Bangsa Melalui Industri Sinematografi”
Penulis: Indah Sulistiowati
Abstrak
Mengembalikan jati diri bangsa untuk mendukung cita-cita menuju Indonesia maju yang berkarakter melalui industri sinematografi. Industri sinematografi yang sering dianggap sebagai faktor penggerus budaya dan jati diri asli Indonesia dapat menjadi cara terbaik untuk mengembalikannya. Analisa data kualitatif dalam industri sinematografi dalam dan luar negeri berupa perbandingan statistik, kebijakan, prestasi, kompetisi, dan masalah-masalah yang menghambat. Kesimpulan berupa gagasan-gagasan untuk menciptakan peluang baru dalam industri drama dan film Indonesia
Kata-kata Kunci
Sinematografi, jati diri, budaya, perfilman
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar, memiliki 1.340 suku bangsa dengan lebih dari 300 kelompok etnik (Badan Pusat Statistik, Sensus 2010). Keragaman suku, bahasa dan budaya sudah menjadi satu bagian dalam urat nadi jati diri bangsa. Hal ini tergambar dalam semboyan Bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Berkah luar biasa ini ternyata perlahan-lahan menghilang seiring dengan berkembangnya era globalisasi. Jati diri sebagai seorang rakyat Indonesia mulai dipertanyakan, ketika fenomena di masyarakat belakangan ini semakin memperlihatkannya.
Kekuatiran mulai bermunculan saat melihat perkembangan kaum muda sekarang, yang telah terpapar dengan kebudayaan luar yang kental. Semua terlihat dalam interaksi para kaum muda di media sosial, terutama dalam faktor kebahasaan dan kebudayaan. Kebudayaan luar memang tidak selalu buruk, tapi melekatnya kebudayaan tersebut bisa mengubah jati diri asli Indonesia.
Dalam hal ini, bisa dilihat pengaruh besar kebudayaan luar telah membuat beberapa jenis makanan tradisi asli Indonesia justru semakin langka di negeri sendiri. Berbanding terbalik dengan aneka restoran berbasis budaya negara lain yang semakin menjamur. Inovasi yang menciptakan makanan-makanan yang merupakan kombinasi dari budaya Indonesia dengan budaya luar justru menjadi media promosi gratis untuk budaya luar semakin dikenal di Indonesia.
Penggunaan bahasa juga semakin dibayang-bayangi oleh bahasa asing yang cenderung lebih menjual dibandingkan bahasa Indonesia. Demikian juga penggunaan simbol kebudayaan asli seperti batik, kebaya, kosmetika, alat musik, tarian dan lain sebagainya, yang semakin langka digunakan.
Globalisasi dan perkembangan teknologi yang sering dianggap sebagai faktor utama masalah kehilangan jati diri ini. Padahal di sisi lain, globalisasi sebenarnya bisa menjadi ujung tombak membangun jati diri sebuah bangsa, termasuk di Indonesia.
Melihat contoh dari beberapa negara Asia seperti Tiongkok, Korea, Jepang, dan Thailand yang mengenalkan kebudayaan negaranya melalui industri sinematografi, sudah menjadi bukti kongkrit manfaat perkembangan teknologi di era globalisasi ini dalam mendukung kebanggaan menampilkan jati diri bangsa.
Sementara di dalam negeri sendiri, kekayaan tradisi dan budaya Indonesia jauh lebih berlimpah. Selain sebagai negara kepulauan yang besar, kebudayaan Indonesia juga dibentuk oleh ragam bahasa dan suku. Letak geografis negara yang dikelilingi lautan luas, pantai, pegunungan, bukit dan daratan yang dipenuhi dengan hutan tropis adalah potensi wisata yang mumpuni untuk menjadi kebanggaan bangsa.
Masa pandemi yang juga dianggap sebagai masa paceklik untuk perdagangan dunia, justru meningkatkan penggunaan media sosial, termasuk kebutuhan untuk hiburan. Hal ini sesungguhnya cukup menguntungkan bagi industri sinematografi. Namun sayangnya, karena berbagai faktor, produk sinematografi Indonesia justru kalah dibandingkan dengan produk asing.
Menilik dari beberapa perbandingan di atas, Indonesia seharusnya memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan industri sinematografi sebagai media untuk mengembalikan jati diri bangsa yang semakin tergerus, sehingga mampu mewujudkan sebuah bangsa yang berkarakter, bertenggang rasa dan memiliki kebanggaan menjadi rakyat Indonesia.
Esai ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang dapat mengembalikan jati diri bangsa melalui industri sinematografi Indonesia.
Jati Diri Bangsa Dalam Industri Sinematografi
Jati diri bangsa merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut (badanbahasa.kemedikbud.go.id).
Bagi bangsa Indonesia, jati diri itu ditunjukkan dalam simbol berupa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Simbol-simbol merupakan manifestasi dari kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cinta bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU RI No. 24, 2009)
Sinematografi berasal dari bahasa Yunani: ‘kinema – κίνημα’ yang berarti “gerakan” dan graphein – γράφειν “merekam”), merupakan ilmu terapan yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan sekaligus menggabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang memililki kemampuan menyampaikan ide dan cerita. (Wikipedia)
Hubungan antara jati diri bangsa dan dunia sinematografi tidak dapat dilepaskan karena industri sinematografi merupakan media yang digunakan untuk meningkatkan penggunaan bahasa nasional, serta mengkampanyekan budaya sebagai manifestasi simbol jati diri bangsa.
Walaupun pada survei Lembaga Survei Indonesia tahun 2019 mengungkapkan bahwa tingkat kebanggaan memiliki jati diri bangsa Indonesia meningkat menjadi 66,4%, tapi pada kenyataannya terjadi penurunan kepercayaan di industri sinematografi.
Penurunan pertama ditunjukkan oleh hasil survei dari Jakpat mengenai penggunaan media televisi dibandingkan internet. Media televisi di Indonesia mendapat porsi 59% dibandingkan menonton Youtube yang memperoleh persentase 68% selama masa pandemi berlangsung.
Dalam hal penjualan tiket, film Indonesia juga masih kalah jauh dibandingkan dengan film impor. Tahun 2019, film ‘Dilan 1991’ produksi Falcon Pictures mendulang lebih dari 5 juta penonton, dengan keuntungan kotor lebih dari 210 miliar Rupiah. Namun, jumlah ini masih sangat jauh dibandingkan film-film impor. Bahkan di tahun yang sama, ‘Avengers Endgame’ memperoleh keuntungan kotor lebih dari 497 milliar Rupiah (IMDbPro, 2019).
Rendahnya tingkat konsumsi sinematografi asli Indonesia juga terjadi pada jaringan media televisi digital yang beredar di Indonesia. Produk lokal hanya mendapat porsi sekitar 10 – 30% dari jumlah total tayangan. Hal ini bisa dilihat dari daftar tayangan yang ditawarkan oleh Iflix yang diproduksi oleh IndiHome, salah satu produk PT. Telkom Indonesia, WeTV Indonesia dan Netflix Indonesia pada periode 2020.
Penurunan ini justru berbanding terbalik dengan konsumsi penonton di aplikasi Youtube. Para Youtuber, sebutan untuk pembuat konten Youtube, dari Indonesia justru berhasil menjaring jutaan penonton setiap harinya di kanal pribadinya. Atta Halilintar memperoleh lebih dari 26 juta pelanggan dan termasuk sebagai 10 besar Youtuber terkaya di dunia. Ria Ricis memperoleh lebih dari 24 juta pelanggan, sementara Fadil Jaidi memperoleh lebih dari 2,5 juta pelanggan hanya dalam waktu satu tahun sejak kanal pribadinya diaktifkan kembali pada tahun 2020 (Youtube, 2021).
Dari data statistik penggunaan di atas bisa diketahui bahwa sinematografi Indonesia sebenarnya tidak kalah menariknya dengan produk asing.
1. Sejarah Sinematografi Indonesia
Sejarah industri sinematografi Indonesia mengalami fluktuasi selama 70 tahun memasuki era kemerdekaan. Film pertama yang mengangkat kebudayaan asli Indonesia adalah ‘Loetoeng Kasaroeng’ pada tahun 1926, yang disutradarai dua orang Belanda yaitu G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini sempat diremake pada tahun 1952 dan 1983.
Di era tersebut sampai tahun 1940-an, film yang dihasilkan rata-rata mengangkat cerita atau legenda rakyat Indonesia. Sampai kemudian berganti menjadi Pemerintahan Jepang yang sangat membatasi perkembangan perfilman Indonesia. Saat itu Jepang menggunakan film sebagai alat propaganda yang mengagungkan kehadiran Jepang di Asia.
Setelah merdeka, Pemerintah Indonesia mewujudkan industri perfilman tidak hanya sebagai lahan bisnis, tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan penerangan, alat untuk pembangunan karakter dan jiwa nasionalisme, serta pengenalan kebudayaan Indonesia, yang tertuang dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 Tahun 1960, Pasal 2.
Namun pada prakteknya, di zaman itu industri perfilman justru dimanfaatkan sebagai lahan bisnis semata, dengan meniru mentah-mentah hasil kerja sineas dari negara asing dan meninggalkan realitas sosial dan budaya asli Indonesia. Meskipun begitu ada beberapa film Indonesia yang meraih perhatian cukup besar seperti Tjoet Nja’ Dhien dan Angling Dharma.
Perubahan yang dibawa di era reformasi juga mengubah wajah perindustrian drama dan film Indonesia secara dramatis. Banyak tema-tema baru dengan para sineas yang masih belum dikenal bermunculan. Industri perfilman sempat bangkit kembali di masa itu dengan ditandai kelahiran film-film berkualitas.
Pergeseran dominasi layar lebar menjadi layar kaca dalam pertelevisian Indonesia memunculkan drama atau lebih sering disebut dengan sinetron sebagai bentuk sinematografi yang sangat diterima di Indonesia pada era reformasi terjadi. Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki satu televisi nasional yaitu TVRI dan sepuluh stasiun televisi swasta nasional yang terhimpun dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) (Wikipedia).
Tetapi seperti industri film, sinetron yang diharapkan mampu membangkitkan kecintaan terhadap budaya Indonesia juga tidak berlangsung lama. Lagi-lagi, faktor komersialitas masih menjadi pertimbangan utama para sineas untuk memenuhi keinginan pasar.
Sebagai akibat, terjadi perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia yang menjadi lebih konsumtif saat itu, membuat para penggerak industri sinematografi semakin rajin menghadirkan sinetron-sinetron berdurasi ratusan bahkan ribuan episode. Sistem syuting kejar tayang menjadi hal biasa, sehingga kualitas dan tujuan produksi tidak lagi terlalu diperhatikan. Di saat yang sama, dunia perfilman Indonesia justru mengalami penurunan yang tajam.
Perkembangan teknologi dan kemudahan internet segera menjadi batu sandungan bagi industri sinematografi Indonesia. Drama impor juga mulai masuk ke Indonesia. Kejenuhan dengan tema dan kualitas sinema lokal mengakibatkan sinema asing, justru diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Penonton dimanjakan dengan kreativitas, keindahan dan kualitas grafis yang langka ditemukan dalam sinema layar kaca Indonesia.
Sinematografi Indonesia masih didominasi hanya oleh segelintir rumah produksi bermodal besar yang lebih mengutamakan komersialitas. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh peraturan pembatasan kreativitas masa lalu yang terbawa hingga sekarang, tapi juga sistem peredaran karya sineas yang masih penuh birokrasi dan bersifat stagnan.
2. Kebijakan Pemerintah
Di negara importir drama dan film asing, industri sinematografi memiliki fungsi ganda. Oleh sebab itu, Pemerintah di negara-negara tersebut mendukung kemajuan industri sinematografi dengan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan, dan mampu melindungi atau bahkan menghidupkan kembali karya sineas negaranya.
Sebagai langkah masif, Pemerintah Tiongkok dan Korea Selatan mendukung penuh pembangunan studio-studio produksi film berskala besar sejak akhir era 90an. Di Tiongkok ada Oriental Movie Metropolis (2018), Shanghai Film Park (1999), Tongli Culture Village, Zhongsan TV dan Movie City Guangdong, Changchun Movie Wonderland (2005) dan masih banyak lagi. Studio terbesar di Tiongkok saat ini adalah Hengdian World Studios (1996).
Sedangkan di Korea Selatan, ada MBC Culture Village (Daejanggeum Theme Park), Studio Dragon, Samsung Studios dan masih banyak lagi studio indoor maupun outdoor dengan skala yang bervariasi. Yang terbaru adalah Studio Cube, tempat pengambilan film ‘1987’ dan drama ‘Black’.
Studio-studio raksasa itu tidak hanya digunakan sebagai tempat produksi drama atau film, tapi juga sebagai daerah tujuan wisata budaya. Studio-studio tersebut juga dilengkapi dengan fasilitas dan penunjang produksi film yang sangat lengkap. Bahkan Pemerintah Tiongkok membebaskan penggunaan lokasi syuting dari biaya sewa alias gratis. Keuntungan studio diperoleh dari kunjungan wisatawan atau penggemar sinematografi.
Pemerintah Tiongkok dan Korea Selatan juga mengeluarkan kebijakan pembatasan impor drama dan film asing guna memancing kreativitas sineas lokal dan melindungi pasar dalam negeri negaranya
Dalam sejarah Korea Selatan, peningkatan di bidang industri perfilman dimulai pada tahun 1988, dengan mengendorkan sensor hingga akhirnya dihapus pada tahun 1996 saat masa kepemimpinan Presiden Kim Young-Sam.
Walaupun keran impor film asing dibuka, namun karena adanya kebijakan yang mendukung kebebasan berekspresi ini serta pembatasan jumlah impor, para sineas Korea Selatan mulai bermunculan. Kebangkitan versi baru industri sinematografi Korea Selatan dengan realitas sosial dan budaya yang lebih beragam mampu menarik perhatian masyarakat secara nasional, regional, dan juga internasional dalam waktu singkat.
Pemerintah Korea Selatan dan Tiongkok juga tidak segan mengeluarkan dana bantuan untuk produksi drama dan film berkualitas mengenai kebudayaan negara. Tidak hanya itu, Pemerintah juga memberikan kesempatan untuk menggunakan fasilitas publik seperti bandara, museum, istana, stasiun bahkan kantor-kantor pemerintahan.
Berbeda dengan di Indonesia, rumah-rumah produksi menggunakan lokasi yang terbatas dan masih bersifat individual. Kawasan wisata dan cagar-cagar budaya daerah di beberapa tempat yang sering dijadikan sebagai area syuting film juga tidak memiliki fasilitas pendukung produksi sinematografi sehingga tidak mampu mengurangi biaya produksi.
Saat ini kawasan wisata yang menyerupai studio raksasa berbasis kebudayaan dan sering digunakan sebagai lokasi syuting adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Namun seiring dengan perkembangan zaman, TMII juga mulai menunjukkan perubahan lebih ke arah komersialitas. Ini terlihat dengan digantinya beberapa jenis atraksi budaya menjadi wahana permainan modern.
3. Sinematografi sebagai Media Promosi, Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Di Indonesia, arus deras drama atau film impor semakin merajai kancah sinematografi Indonesia.
Padahal di sisi lain, produsen drama atau film impor tidak hanya memperkenalkan budaya negara mereka, tetapi juga memanfaatkan sebagai media promosi untuk barang dan jasa produksi negaranya. Korea Selatan memanfaatkan drama atau film sebagai promosi kosmetik, telepon seluler, mobil bahkan mode pakaian terbaru. Tiongkok memperkenalkan daerah-daerah wisata, makanan lokal, kerajinan tangan dan gaya pakaian tradisional yang dimodernisasi.
Sementara hampir di setiap drama Thailand, kita akan menemukan kuil-kuil indah yang cantik, lokasi wisata yang bersih dan kultur budaya tradisi dengan agama yang masih kental. Jepang, negara dengan teknologi canggih juga sering memanfaatkan drama atau film sebagai alat promosi kecanggihan teknologi jenis terbaru terutama di bidang games, namun tidak lupa tetap mempromosikan keindahan daerah dan kultur budaya negaranya.
Promosi ini berhasil meningkatkan pendapatan negara-negara importir drama atau film itu di berbagai bidang, baik di bidang hiburan, pariwisata, sosial budaya, politik luar negeri, ekonomi dan perdagangan.
Padahal Indonesia adalah negara yang kaya dengan ragam budaya dan bahasa. Produk-produk dalam negeri juga sudah banyak yang meraih prestasi internasional.
Di bidang kecantikan, Indonesia sudah memiliki merek kosmetik tradisional yang mendunia. Perusahaan kosmetik Sariayu dan Martha Tilaar merupakan dua merek kosmetik yang menekankan pada tradisi budaya asli Indonesia. Jenis kosmetik ini lebih sesuai digunakan pada iklim tropis dan telah dibuktikan secara turun menurun. Tapi di Indonesia, promosi kosmetik tradisional yang menggunakan sinematografi masih bersifat soft-selling, tidak seperti Korea Selatan dan Jepang yang cukup agresif mengenalkannya secara langsung dengan tidak segan menunjukkan proses pembuatannya atau membuatkan film dokumenter atau ragam acara sendiri.
Salah satu film produksi tahun 2000 ‘The Beach’, menggunakan pantai Phi Phi di Thailand sebagai lokasi utama produksi film. Lalu ada juga Pantai Joomoonjin, Korea Selatan yang menjadi lokasi syuting drama Goblin (2016). Kedua tempat tersebut menjadi ramai dikunjungi wisatawan setelah kedua produksi sinema ditayangkan.
Berbagai pilihan tempat wisata alam berlimpah di seluruh penjuru Indonesia. Pantai berpasir putih hingga terjal, pegunungan, lautan luas, bukit, teluk bahkan daratan pasir yang luas ada di Indonesia.
Di Indonesia, ada beberapa daerah digunakan oleh para sineas luar negeri. Film ‘Eat, Pray, Love’ yang dibintangi Julia Robert mengambil setting di Bali. Demikian juga drama yang dibintangi oleh Jo In-Sung dalam ‘Memories of Bali’. Kedua sinema tersebut berhasil meningkatkan minat wisatawan luar negeri berkunjung ke Bali, sekaligus memperkenalkan kebudayaan Bali yang masih terjaga adat istiadatnya.
‘Anacondas: The Hunt for the Blood Orchid’ (2004) juga mengambil setting di Hutan Mangrove, Kalimantan. Lalu ada ‘King Kong’ (2005) yang diproduksi di Pulau Mursalah, Sumatra. ‘Alex Cross’ (2012) di Pulau Nusa Lembangan & Kabupaten Karangasem. ‘Savages’ (2012) di Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat. ‘The Salt of The Earth’ (2014) di Kabupaten Yalimo, Papua. ‘After The Dark’ (2013) di Jakarta, Belitung, Sumatra, Gunung Bromo & Candi Prambanan.
Seandainya Pemerintah Indonesia memberikan perhatian besar terhadap optimalisasi promosi wisata alam dengan memanfaatkan ketenaran film-film internasional itu, mungkin dapat meningkatkan potensi wisatawan asing yang lebih besar ke daerah-daerah tersebut.
Ada beberapa film dan drama produksi lokal yang juga memperkenalkan budaya Indonesia. Film pendek berjudul ‘Sekar’ (2018) mengenalkan budaya batik yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia. Selain itu, film ‘Sultan Agung, Tahta, Perjuangan dan Cinta’ (2018) karya Hanung juga menampilkan kebudayaan rakyat Tanah Jawa.
Oleh Pemerintah negara sinema impor, sinematografi juga dianggap sebagai media komunikasi, dan edukasi bagi rakyatnya. Meskipun langkah ini sering kali dianggap sebagai pemasungan kreativitas para sineasnya. Pemerintah Korea Selatan dan Tiongkok menggunakan produk sinematografi sebagai media dalam kampanye program sosial pemerintahannya.
Indonesia juga pernah melakukan cara ini di era Orde Baru seperti menyelipkan pesan pentingnya Keluarga Berencana, promosi wisata Indonesia, dan program pendidikan militer. Namun karena situasi politik Indonesia yang tidak stabil, maka perhatian terhadap dunia sinematografi pun mulai beralih fungsi. Padahal cara ini tepat, karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Dengan menggunakan produk sinematografi, sebuah program Pemerintah mampu disampaikan secara langsung dan merata.
Sebagai contoh film ‘Laskar Pelangi’, yang mengangkat potret kehidupan anak Sekolah Dasar di daerah Belitung. Pesan tersirat dalam film tersebut berhasil menyentuh jutaan penonton di Indonesia agar memperjuangkan pendidikan apapun yang menjadi halangannya.
4. Kreativitas Sineas, Kualitas dan Regenerasi Artis
Kualitas drama atau film impor yang jauh dibandingkan produksi dalam negeri juga menjadi salah satu alasan kurangnya minat dan apresiasi masyarakat. Belum lagi artis atau aktor utama yang dipilih selalu merupakan nama-nama yang sama.
Salah satu adalah Reza Rahadian, salah satu aktor terlaris sepanjang lima tahun terakhir, membintangi 4-8 karya sinematografi dalam tahun yang sama. Ini terjadi juga pada Vino Sebastian, yang menjadi pemeran dalam 10 karya sinematografi dalam 5 tahun terakhir (Wikipedia). Ketiadaan regenerasi artis ini ‘ mengakibatkan kejenuhan pada penonton, dan membuat penurunan kualitas peran yang dimainkan.
Pemilihan artis dan aktor juga banyak dipengaruhi oleh berita-berita gosip atau informasi viral yang tengah beredar, bukan karena kualitas akting atau melalui proses audisi. Beberapa contohnya adalah Norman Kamaru, seorang polisi yang sempat viral dengan video lip-sync, Sinta-Jojo, Udin Sedunia, Arya Wiguna dan Manohara.
Tidak hanya itu, citra negatif dunia sinematografi yang lekat dengan pornografi, narkoba, pergaulan bebas, dan gonta ganti pasangan, adalah salah satu alasan bagi para orang tua tidak bersedia memberi kebebasan anak-anaknya untuk berkiprah di dunia sinematografi, baik sebagai artis atau aktor, tapi juga sebagai sineas di balik layar.
Itu sebabnya sekolah akting atau sinematografi di Indonesia masih sangat minim peminat, sehingga proses regenerasi artis terhambat. Jumlah lembaga pendidikan yang bergerak di dunia sinematografi termasuk sekolah akting dan sekolah model pun sangat kurang jika dibandingkan kebutuhan, jauh dibandingkan negara importir produk sinema lain.
Hal ini menyebabkan audisi yang dilakukan pun lebih bersifat instan. Tidak ada kelanjutan dengan proses pelatihan khusus bagi pemula potensial seperti yang dilakukan di negara-negara penghasil karya sinematografi berkualitas internasional.
Demi mengatasi biaya produksi yang cukup tinggi, para sineas juga terpaksa mengurangi dengan menggunakan teknik grafis berkualitas rendah atau tidak melakukan riset mendalam. Di Indonesia sendiri perusahaan dengan teknologi teknik grafis masih langka. Sementara karena kurangnya riset, sering terjadi kesalahan-kesalahan dalam proses produksi.
Sebagai contoh, pada kostum batik yang ada di film ‘Sultan Agung’. Film tersebut mendapat kritik dari GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwono X, mengenai corak dan warna batik salah yang digunakan oleh pemeran Sultan dan abdi dalemnya.
Kesalahan karena properti yang muncul di setting karya yang tidak sesuai, terjadi pada film ‘Di Balik 98’ yang menampilkan bola dengan logo piala dunia tahun 2014, mobil keluaran tahun 2010 di film ‘Dilan 1991’, kehadiran Microsoft 2003 dan produk keluaran tahun 2000an di film ‘Ainun dan Habibie’.
5. Harapan Sinematografi Indonesia
Meski tertinggal dibandingkan negara Asia lainnya, Indonesia masih menghasilkan banyak karya sinematografi yang potensial dan meraih perhatian dunia internasional.
‘Perempuan Tanah Jahannam’, atau ‘Impetigore’ (2019) yang disutradarai oleh Joko Anwar, telah memperoleh respon positif secara internasional. Selain mendapat beberapa penghargaan film internasional, film ini juga tayang di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris. Sedangkan di Asia, pernah diputar di bioskop Taiwan dan di Buncheon International Film Festival di Korea. Sebelumnya pada tahun 2017, Joko Anwar juga mendapat lebih 4 juta penonton untuk film ‘Pengabdi Setan’. Film ini juga meraih lebih dari 40 penghargaan festival film internasional.
Beberapa film lainnya seperti ‘Sekala Niskala’ (2017), ‘Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak’ (2017), ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ (2018) ‘Hiruk-Pikuk si Al-Kisah’ (2018), ‘Modus Anomali’ (2011), ‘Athirah (Emma’)’ (2016) berhasil meraih penghargaan di kancah internasional, meski kurang mendapat apresiasi dari sisi jumlah penonton.
Pada tahun 2018, distributor film Amerika Century Fox bekerja sama dengan produser Indonesia menghasilkan sebuah film lokal pertama yang berjudul ‘Wiro Sableng 212’. Film ini meraih keuntungan lebih dari 3 juta US Dollar (Wikipedia)
Di dunia digital Youtube, konten-konten berisi informasi mengenai kehidupan dan kebudayaan Indonesia diakses hingga jutaan kali. Para pembuat konten itu tidak hanya berasal dari orang asli Indonesia, tapi juga orang asing yang berbagi pengalaman berada di Indonesia. Isi konten-kontennya pun sangat beragam.
Hal ini membuktikan bahwa perkembangan sinematografi telah bergerak menuju kebebasan dalam berekspresi yang sebenarnya. Pembatasan pun hanya dilakukan berdasarkan usia pengguna dan aturan Pemerintah, tanpa birokrasi pemasaran.
Bahkan Youtube dipergunakan untuk mengedarkan aneka film pendek maupun layar lebar. ‘Tilik’ produksi Ravacana Films telah ditonton lebih dari 25 juta kali, Melodylan oleh MD Entertainment telah diakses lebih dari 17 juta kali, Late (Terlambat) produksi Paramedia Indonesia telah ditonton lebih dari 34 juta kali.
Meski dibatasi oleh adanya PPKM, jumlah film Indonesia juga semakin meningkat di media layanan digital berbayar seperti Netflix dan Disney Hotstar. Pada tahun 2020, terdapat 53 judul film dan pada paruh pertama tahun 2021 telah beredar 20 judul film dan drama.
Dalam upaya peningkatan mutu sinematografi Indonesia, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki visi menjadi pusat sinematografi Indonesia dengan merengkuh Sekolah Tinggi Multimedia Manajemen (STMM) MMTC.
Kementerian Pendidikan dan Budaya menggandeng Netflix untuk mengadakan pelatihan penulis naskah dengan nilai investasi sebesar 1 juta US Dollar untuk 100 orang. Tidak hanya itu, kemitraan ini juga berlanjut dalam penayangan film-film dokumenter di Netflix untuk mendukung program Belajar dari Rumah pada tahun ajaran baru 2020.
Penutup
Dalam mencapai cita-cita untuk bisa mengembalikan kebanggaan memiliki jati diri bangsa Indonesia melalui industri sinematografi memang masih sangat terjal.
Pemerintah diharapkan mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung kebebasan berekspresi para sineas termasuk membatasi impor produk drama/film asing, memberikan apresiasi, merancang kompetisi kreativitas produksi dalam negeri, memberi bantuan dalam upaya pengurangan biaya produksi yang masih menjadi momok bagi sebagian produsen dalam negeri, meningkatkan lembaga pendidikan di bidang sinematografi dan terpenting adalah mendukung penuh sistem pemasaran produk yang bebas monopoli dan birokrasi yang kompleks.
Keterlibatan para pengusaha produk lokal Indonesia dalam pembiayaan produksi sinematografi juga diharapkan mampu meningkatkan produksi sinematografi. Dengan cara ini, selain bisa menjadi media promosi bisnis, produk lokal Indonesia diharapkan dapat menjadi duta budaya di kancah internasional.
Untuk para influencer, vlogger atau Youtuber diharapkan dapat menghasilkan konten-konten kreatif dengan lebih menekankan pada pelestarian budaya, pengenalan realitas sosial dan penggunaan bahasa asli Indonesia. Penggunaan bahasa dalam konten walaupun semi formal namun tetap santun juga merupakan salah satu cara menjaga jati diri khas Indonesia yang terkenal dengan keramahannya.
Akhirnya, dengan kehadiran produk sinematografi Indonesia, rakyat Indonesia dapat merasakan kebanggaan memiliki jati diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar Pustaka:
Film Indonesia, 2021. “Daftar film berdasarkan Tahun Edar”, http://filmindonesia.or.id/movie/title/list/year/2021#.YFTcfa8zbIU, diakses pada 12 Maret 2021
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Sensus Penduduk Indonesia 2010, https://sp2010.bps.go.id/, diakses pada 10 Maret 2021.
Farisa, Fitria Chusna, 2019. “Survei LSI: Dibanding Identitas Keagamaan dan Kesukuan, Nasionalisme Rakyat Indonesia Lebih Tinggi https://nasional.kompas.com/read/2019/11/03/17184761/survei-lsi-dibanding-identitas-keagamaan-dan-kesukuan-nasionalisme-rakyat, diakses pada 10 Maret 2021
Hestianingsih, 2019. “Putri Keraton Protes Film yang Tampilkan Sultan Agung Pakai Batik Parang Kecil”, Wollipop.detik.com, diakses pada 10 Maret 2021)
Hidayatullah, Taufiq, 2019. “Penonton dan pengiklan di TV mulai beralih”, (https://lokadata.id/artikel/penonton-dan-pengiklan-di-tv-mulai-beralih, diakses pada 10 Maret 2021)
IMDbPro, 2021. Ragam informasi, https://www.boxofficemojo.com/, diakses pada 12 Maret 2021
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020. “Kemendikbud Hadirkan Film Dokumenter Netflix pada Program Belajar Dari Rumah.” https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/06/kemendikbud-hadirkan-filmfilm-dokumenter-netflix-pada-program-belajar-dari-rumah, diakses 12 Maret 2021
Larasati, Rina Ayu, 2020. “Digandeng Kemendikbud, Netflix Investasi Rp 14 Miliar“, https://money.kompas.com/read/2020/01/09/170244826/digandeng-kemendikbud-netflix-investasi-rp-14-miliar, diakses pada 12 Maret 2021
Mustakim, “Bahasa sebagai Jati diri bangsa”, https://badanbahasa.kemedikbud.go.id, diakses pada 10 Maret 2021
Nielsen, 2020. ”Konsumen digital menunjukkan pertumbuhan tren positif” https://www.nielsen.com/id/id/press-releases/2020/konsumen-digital-menunjukkan-pertumbuhan-tren-positif/, diakses pada 11 Maret 2021
Novi Kurnia, Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman, UGM, Vol 9, 2006)
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2009, https://jdih.bsn.go.id/produk/detail/?id=701&jns=2, diakses pada 10 Maret 2021
Wikipedia, 2021, ragam informasi, diakses pada 10-15 Maret 2021