Kain Batik Yang Bermakna dalam Upacara ‘Siraman Pengantin Jawa’

0

SERI CINTA TANAH AIR

Disampaikan oleh : Dr. Ir. Indra Tjahjani, SS, MLA, MMSI (IKA UT Pusat)

(Penggerak kegiatan Pelestarian Budaya diantaranya Batik, serta aktif melakukan edukasi tentang Desain & Filosofi Batik)

Editor: Norhayati Indah Sari

Generasi penerus bangsa yang cinta tanah air, tentunya perlu mengenali keragaman Budaya di Nusantara. Keanekaragaman budaya adalah kekayaan bagi Indonesia. Diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau dihuni oleh 1.340 suku bangsa; Sedangkan saat ini di Indonesia yang menggunakan bahasa daerah hanya tinggal 783  (Arief Rachman, 2016) yang masih ada penuturnya, tadinya lebih dari 1.331 bahasa daerah.

Jika suatu penutur bahasa ibu makin berkurang, apabila satu bahasa ibu punah, maka hilanglah satu budaya.

Oleh karena itu penting  bagi kita melestarikan budaya leluhur kita, dari daerah mana pun yang ada di Indonesia.

Penulis, akan memperkenalkan bagaimana suatu proses pembuatan desain Batik dari Pulau Jawa atau khususnya suku Jawa.

Kain Batik dahulu dibuat untuk dipakai sebagai penutup bagian bawah tubuh berupa kain panjang/jarik/jarit, bukan untuk baju.

Setiap motif yang dirancang melalui proses meditasi dan puasa, kemudian dibuat dengan canting. Prosesnya selalu diiringi doa dan harapan agar nantinya di saat akan dikenakan oleh seseorang akan memperoleh berkahnya dan diharapkan doa tersebut dikabulkan oleh Allah SWT.

Penulis akan berbagi tentang filosofi di balik empat Kain Batik Tulis yang masih digunakan oleh para Pelestari Budaya dalam suatu upacara tradisi Pernikahan Jawa.

Dalam tradisi Jawa, satu hari sebelum menikah biasanya diadakan Upacara ‘Siraman’ (secara harfiah artinya mandi, namun dalam tradisi dianggap sebagai membersihkan diri sebelum memulai suatu kehidupan baru).

Pada upacara Siraman, Calon Pengantin memohon ijin dan doa restu dari kedua orangtuanya. Pada saat melaksanakan upacara tersebut Calon Pengantin dan Orangtuanya menggunakan motif batik tertentu.

Keluarga Penulis memilih mengenakan kain Batik Tulis motif berikut:

Calon pengantin putra/putri akan memakai Kain Batik Tulis motif Sido Asih,  demikian juga sebaiknya saudara sekandungnya, maknanya agar mereka tetap saling mengasihi walaupun mereka telah membina keluarga masing-masing.

Pada awal Upacara Siraman, calon pengantin hanya memakai Kain Cinde.

Setelah selesai Siraman (upacara mandi tradisional), berganti pakaian dengan memakai kain Sido Asih dan atasannya biasanya memakai surjan (baju atasan biasa dikenakan suku Jawa).

Pemilihan kain Cinde sering dipilih yang berwarna merah, yang menyolok, agar calon pengantin terlihat berbeda.

Kedua orang tua calon pengantin biasanya memakai kain batik dengan motif Cakar atau Nitik Cakar  (nama Cakar berasal dari Cakar Ayam atau kaki ayam);

Filosofi di balik motif Cakar diharapkan nantinya calon pengantin di saat berumah tangga pandai mengelola keuangan keluarga dan bertanggung jawab.

Dalam mengenakan kain Batik bermotif kombinasi dengan motif ‘Gurdo’ yang bentuknya seperti sayap burung baik hanya satu sayap atau sepasang sayap yang berhadapan, harus dipakai menghadap ke atas.

Motif ini merupakan stilasi atau gubahan sayap burung garuda, karenanya disebut ‘Gurdo’. Untuk mengingat-ingat, burung jika terbang ke atas oleh karena itu sayapnya harus menghadap ke atas.

Demikian bahasan tentang dua motif batik yang digunakan pada Upacara Tradisi di Jawa.

Referensi :

  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pulau_di_Indonesia_menurut_provinsi. , September 2020
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia, September 2020
  3. https://www.suara.com/news/2016/02/21/184828/tiga-bahasa-ibu-di-papua-punah-tiap-tahun?page=1, September 2020.
  4. https://www.idntimes.com/news/indonesia/helmi/cek-fakta-pak-jokowi-ini-lho-jumlah-bahasa-daerah-indonesia, September 2020.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial