Juara 1 Kategori Mahasiswa: “Terwujudnya Metanoia Literasi”

0

Oleh Richmond Faithful

“Ini tiga harus kita basmi dari semua sistem pendidikan kita” ujar Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dalam kuliah umum dengan tema ‘Merdeka Belajar 2021’ di salah satu saluran televisi pada 19 Januari 2021 lalu. Sistem pendidikan yang dimaksud, yakni yang berlaku di Indonesia, menurut UU No. 20 Tahun 2003 merupakan sistem pendidikan nasional. Didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Definisi tersebut secara tersurat cukup gagah dan terlihat meyakinkan. Namun sayangnya tidak demikian dalam penerapannya secara nyata.

Kenyataannya sejauh ini, penerapan sistem pendidikan nasional belum efektif untuk memicu para generasi penerus bangsa untuk dapat menyamai, atau bahkan sekadar mengejar, perkembangan era Industri/Digital 4.0 ini. Terlihat dengan masih ditemukannya tiga hal, atau tiga dosa, yang masih membayangi dunia pendidikan Indonesia seperti yang disampaikan Pak Nadiem. Ketidakefektifan tersebut juga nampak beberapa waktu lalu, ketika sempat tersiar suatu kabar yang memprihatinkan dalam (lagi-lagi) dunia pendidikan. Merupakan hasil penelitian dari salah seorang sastrawan senior kebanggaan Indonesia, Taufik Ismail, yang menguak suatu kondisi di sepanjang negeri elok amat tercinta ini bahwa tidak ditemukannya minat membaca. Peristiwa ini dikenal dengan tragedi nol buku.

Tidak ditemukannya minat membaca anak bangsa menurut Taufik Ismail ternyata juga didukung dengan statistik UNESCO terhadap Indonesia[1] pada tahun 2012 lalu dimana hanya terdapat 1 dari 1000 orang yang memiliki minat membaca, atau secara persentase sekitar 0,001%. Jika dilihat dari kacamata seorang mahasiswa ekonomi yang (setidaknya) cukup memahami matematika, dapat diasumsikan bahwa 0,001% bisa dibulatkan menjadi 0 dan dalam kata-kata/tulisan dapat disimpulkan bahwa ditemukan tidak ada sama sekali minat membaca di seluruh penjuru nusantara ini. Hal ini merupakan ancaman besar yang dapat berakibat fatal terhadap turunnya  keintelektualan bumi pertiwi.

Membaca merupakan hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang manusia untuk dapat bertahan dalam kerasnya rimba kehidupan. Sementara segala tindakan bermula dari pikiran dan niat, maka ketiadaan minat membaca menandakan bahwa kegiatan membaca itu sendiri tidak ada dan punah dalam peradaban modern Indonesia ini. Padahal dengan membaca dapat diperoleh kecerdasan dan perluasan ilmu pengetahuan unduk dapat mengikuti perkembangan zaman, sebagaimana disebutkan dalam definisi sistem pendidikan nasional.

Kendati demikian, hingga kini tragedi yang terjadi kurang lebih dua dekade lalu tersebut belum kunjung usai dan masih berlanjut, malah semakin ‘berkembang’. Alih-alih teratasi dan terselesaikan ternyata tragedi nol buku malah berganti nama menjadi krisis literasi, sebagaimana juga diakui oleh Menteri Nadiem pada 2019 lalu.[2] Indonesia krisis literasi/darurat literasi banyak digaungkan pada berbagai portal berita, lengkap dengan ancaman kehancuran yang mengintai generasi muda. Namun, terlihat tidak ada perubahan dan membaca masih sebatas pelajaran wajib sewaktu duduk di bangku SD. Sepertinya ‘budaya’ ketidakminatan membaca dikalangan muda mudi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam jaringan pendidikan di Indonesia.

Ada salah satu peribahasa yang dikenal luas di masyarakat, yakni buku adalah jendela dunia. Dimasa ini, terima atau tidak makna sesungguhnya dari peribahasa itu sudah dilupakan dan sekadar menjadi peribahasa usang yang tidak terlalu penting dan tidak bermakna. Kehidupan yang serba digital ini telah menggeser kata ‘buku’ dengan ‘Mbah Google’. Memang segala informasi dapat diperoleh dengan mudah melalui mesin pencari daring tersebut, namun kebanyakan tidak menyadari bahwa segala informasi daring tersebut adalah pedang bermata dua.[3] Dapat menjadi senjata untuk menyerang pihak ‘lawan’ atau dapat dianalogikan sebagai kunci untuk membuka jendela, atau dapat menjadi senjata makan tuan dan bila dianalogikan, sebagai kunci yang salah untuk membuka jendela, patah, nyangkut, dan justru membuat kita menjadi terkunci sama sekali tanpa bisa melihat ke luar jendela.

Kemampuan mencari informasi, atau kemampuan berliterasi merupakan salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh seorang siswa/i dimasa modern ini. Menurut KBBI, literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup. Perhatikan bagaimana kecakapan hidup dapat diperoleh melalui literasi, melalui kegiatan menulis dan membaca yang adalah hal dasar dalam berkehidupan. Banyaknya sumber dan kemudahan untuk memperoleh informasi secara daring sebenarnya menuntut para generasi muda, atau mungkin sebenarnya semua generasi, untuk memiliki kemampuan literasi yang tinggi dan kritis agar dapat membedakan mana pengetahuan yang baik dan mana yang buruk. Namun ternyata justu, kemampuan tersebut masih belum dikuasai oleh sebagian besar generasi muda hingga muncul istilah krisis literasi.

Pada dasarnya, pemahaman akan 6 literasi dasar (baca tulis, sains, numerasi, digital, kebudayaan, kewarganegaraan, dan finansial) merupakan salah satu hal yang harus dikuasai oleh seseorang sebelum memasuki umur kepala dua.[4] Sejajar dengan itu ada adab dan pendidikan karakter. Keenam literasi dasar tersebut dapat dikuasai hanya dengan membaca. Dalam dunia pendidikan, baik yang diajari atau yang mengajari harus memiliki pemahaman yang mumpuni akan keenam literasi dasar tersebut. Orang tua cerdas akan menghasilkan anak yang cerdas, dan anak yang cerdas akan menghasilkan bangsa yang maju. Keduanya harus seimbang dan tidak timpang sebelah.

Sebagaimana sempat disinggung di awal, dikenal istilah program tiga dosa yang tengah ‘diupayakan’ oleh Kemendikbud. Namun ternyata setelah penjelasan singkat mengenai krisis dan tragedi literasi di atas, ketidakcakapan dan ketidakminatan dalam membaca bukan merupakan bagian dari tiga dosa-nya Kemendikbud tersebut. Kemalasan, yang faktualnya merupakan bagian dari tujuh dosa pokok manusia, membaca bukan merupakan salah satu atau bahkan mendekati bagian dari tiga dosa besar yang saat ini sedang diusahakan untuk ditebus oleh Kemendikbud. Disebutkan oleh Pak Menteri, tri-diryah pendidikan kita saat ini adalah :

  1. Perundungan
  2. Kekerasan Seksual, dan
  3. Intoleransi.

Untuk mengatasi ketiganya sedang dirumuskannya suatu pendekatan secara sistematik, salah satunya dilakukan melalui pendidikan karakter.[5]

Sebenarnya jika dilihat melalui sudut pandang lain atau jika ditarik mundur ke belakang mengenai bagaimana dan mengapa dosa-dosa tersebut bisa terjadi, ketiga dosa besar tersebut semuanya dapat dicegah dengan terlebih dahulu menggalakkan pentingnya membaca. Menggalakkan pentingnya berliterasi sejak dini. Ketiganya merupakan bentuk tindakan amoral dan pandir. Tri-diryah menurut Pak menteri pendidikan kita mencerminkan perbuatan pribadi/kelompok yang tidak berpendidikan dan tidak berkebudayaan, tetapi justu ketiganya merupakan dosa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri.

Perundungan merupakan tindakan menyakiti pihak lain yang lebih lemah. Cukup aneh mengetahui bahwa dikenalnya istilah the Golden Rule, yakni aturan untuk jangan menyakiti orang lain, tertanam dalam pendidikan budi pekerti pada Kurikulum 1947 hingga yang terbaru Kurikulum 2013. Bahkan dalam Kurikulum 2013 atau K-13 ini, mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti merupakan mata pelajaran kelompok A yang berhubungan dengan kemampuan dalam kehidupan dan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Tetapi perlu dicatat bahwa sebagus apapun rancangan kurikulum dari tahun berapa pun, jika hanya sebatas rancangan dan tidak membuahkan hasil nyata sama saja kosong dan tidak berarti.

Kekerasan seksual merupakan pemaksaan suatu tindakan seksual terhadap orang lain, disebut juga tindakan merendahkan orang lain dan merupakan salah satu bentuk tindakan yang tidak berkarakter. Mari berdiam diri sejenak, menarik nafas panjang, dan merenung dengan fakta bahwa pendidikan karakter telah ada sejak pra kemerdekaan bersamaan dengan UU pendidikan nasional pertama pada 1946 (yang berlaku mulai 1947)[6] dan mengakarnya pendidikan karakter tersebut jugalah yang mengantarkan kita kepada kemerdekaan Indonesia. Tetapi perlu dicatat sebaik apapun pendidikan karakter dari tahun berapa pun, jika hanya sebatas ajaran tanpa adanya perubahan sikap dan tidak membuahkan hasil nyata sama saja kosong dan tidak berarti.

Intoleransi merupakan ketiadaan tenggang rasa. Alangkah sedihnya mengetahui salah satu nilai yang sudah setua bangsa ini sendiri, salah satu nilai luhur yang menjadi landasan bangsa Indonesia sejak sebelum, saat, dan setelah terbentuk masih belum juga tertanam, terlaksana, bahkan mungkin (akan) semakin terlupakan dari generasi ke generasi. Padahal tenggang rasa, yang juga setua toleransi dan kemanusiaan serta nilai luhur lainnya, katanya harus dijunjung tinggi dan merupakan pondasi NKRI. Tetapi seluhur apapun suatu nilai dari tahun berapa pun, jika hanya sebatas nilai dan tidak tertuangkan dalam perbuatan nyata sama saja kosong dan tidak berarti.

Salah satu bukti seseorang memiliki kemampuan literasi yang baik adalah dapat melihat bahwa ketiga paragraf diatas memiliki kalimat akhir yang senada dan bahwa pada hakikatnya ketiga dosa tersebut merupakan akibat dari implementasi pendidikan dan nilai-nilai yang tidak terlaksana dan tertanam dengan baik sebagaimana semestinya. Kurikulum dengan rancangan yang apik, nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, pendidikan moral, akhlak, karakter, dan atau pendidikan apapun itu semuanya tidak akan berguna jika hal-hal tersebut hanya menjadi sekadar tulisan dan ingatan belaka. Kesempurnaan yang dimiliki oleh rancangan, pendidikan, dan nilai tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak ada satu pun pihak yang memahami dan mengerti maksud dan tujuan sesungguhnya dibalik itu semua.

Sebenarnya penguasaan dan keterampilan dalam berliterasi telah sejak dahulu digalakkan. Salah satu momen dimana keterampilan literasi mendapat panggung adalah ketika Indonesia hendak memasuki MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN.[7] Akhir-akhir ini, panggung untuk pentingnya kemampuan berliterasi adalah berhubung dengan tuntutan untuk mengejar target Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terkuat pada 2030 dengan bonus demografi sebagai poin pendukungnya. Namun hasil survei dari Programme for International Student Assesment (PISA) sepertinya cukup mematahkan semangat mengejar target bangsa tersebut. Bagaimana tidak, skor kompetensi peserta didik kebanggan bangsa pada tahun 2018 sama persis dengan skor pada tahun 2000. Bahkan Satriwan Salim, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), mengatakan bahwa kemampuan literasi siswa mandek dan tidak berkembang selama 18 tahun.[8]

Kondisi pandemi Covid-19 yang tengah dan masih kita hadapi sekarang juga semakin memperparah krisis literasi yang tak kunjung usai dekade demi dekade ini. Pandemi yang terjadi di masa modern ini menunjukkan pentingnya peran membaca dan kemampuan literasi bagi kesehatan bangsa. Banyak informasi hoaks yang beredar melalui berbagai sumber di internet dan media sosial mengenai hal-hal yang berhubungan dengan virus SARS Cov-2 dan cara-cara penanggulangannya. Kemampuan literasi, dalam hal ini literasi kesehatan, yang dimiliki oleh seseorang di waktu-waktu ini memegang peranan penting untuk kelangsungan hidupnya secara pribadi dan untuk sekitarnya. Kecakapan dan kemampuan dalam menyaring informasi, khususnya yang berhubungan dengan Covid-19, di masa ini memegang peranan penting sebagai salah satu keahlian vital yang harus dimiliki baik oleh generasi muda maupun tua.

Sebagaimana pandemi Covid-19 ini menyebabkan banyak berjatuhan korban jiwa, demikian pula krisis literasi menyebabkan banyak berjatuhan mimpi dan cita-cita bangsa. Kebuntuan yang dihadapi dunia pendidikan terhadap minat membaca selama belasan tahun telah menyebabkan kejatuhan karakter, kerusakan moral, dan semakin merumitkan benang kusut pendidikan Indonesia. Hal yang lebih memakan hati adalah ketidaksadaran generasi bangsa ini akan betapa kehancuran secara intelektual sudah menguasai hampir seluruh bagian pendidikan dan nyaris memakan habis akal sehat dan nalarnya. Generasi emas ini tidak menyadari bagaimana emas mereka semakin tergerus sedikit demi sedikit.

Kemendikbud hampir selalu mengubah kurikulum pendidikan dari tahun ke tahun. Dikatakan bahwa perubahan tersebut dilakukan karena mengikuti perubahan dan perkembangan zaman, khususnya ilmu pengetahuan.[9] Namun perubahan kurikulum juga pada hakikatnya harus dibarengi dengan kualitas pengajar, pelaksanaan sistem, serta pendidikan moral dan karakter yang baik dan efisien. Pengajar yang berkualitas, sistem yang dapat dilaksanakan dengan baik, serta pendidikan moral dan karakter tersebut dapat dijalankan dengan mudah oleh siapapun yang memiliki kemampuan berliterasi yang cakap. Namun faktanya, sistem dan kurikulum pendidikan yang tengah berlangsung saat ini terbata-bata dalam menyesuaikan dengan kondisi pandemi dan nampak tidak siap dari segala aspek pelaksanaannya. Meskipun sekarang kondisi dan hiruk pikuk dunia pendidikan sudah sedikit membaik bersamaan dengan grafik angka Covid-19 yang mulai menurun, namun hal ini menunjukkan ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan dan perkembangan zaman sebagaimana dikatakan.

Pendidikan merupakan bagian vital dari kehidupan dan merupakan hal yang membentuk seorang manusia yang berkualitas. Kualitas pendidikan di Indonesia yang dari tahun ke tahun seperti tak kunjung membaik dapat menjadi ancaman jangka panjang terhadap tempat lahir dan tempat berlindung di hari tua kita tercinta ini. Menempati peringkat ke 57 dari 167 negara menurut prosperity.com[10], terlihat bagaimana kualitas pendidikan Indonesia belum menunjukkan perubahan yang signifikan sejak beberapa tahun terakhir dan hal ini cukup menjelaskan mengapa pada awal pandemi hampir semua pihak kewalahan, bingung, panik dan berujung pada kelonjakan kasus dari 2 menjadi puluhan bahkan puluh ribuan dalam kurun waktu beberapa minggu saja.[11]

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah dan terbelakang merupakan stigma yang harus kita hapus bersamaan dengan ketiga dosa besar pendidikan. Rendah dan terbelakangnya kualitas pendidikan bumi pertiwi ini masih merupakan permulaan kehancuran yang diakibatkan oleh kurangnya minat membaca dan tidak dimilikinya kemampuan berliterasi. Belum menyinggung krisis moral dan kehampaan dimensi karakter pada generasi muda calon pemimpin bangsa yang menghantui didepan. Diperlukan adanya suatu metanoia dalam berliterasi.

Dikenal juga sebagai bentuk penyembuhan dan kelahiran kembali pikiran dan jiwa seseorang dalam bentuk yang lebih adaptif, metanoia sebagaimana disebutkan oleh seorang pencetus Teori Kepribadian Psikologi Analitik Carl Jung merupakan perubahan dari dalam diri (internal) seorang individu hingga berdampak terhadap luaran (eksternal) dan termasuk perubahan dalam penampilannya. Metanoia literasi dapat diartikan sebagai perubahan secara menyeluruh dalam pola pikir dan perilaku seseorang dalam mengembangkan kemampuannya untuk memperoleh dan memanfaatkan suatu informasi dengan efektif agar membuahkan hasil kemajuan bangsa secara intelektual. Bermula dari perubahan dalam diri seorang individu dapat memicu efek domino terhadap perubahan masa depan suatu bangsa.

Keruwetan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan saat ini, terlebih pada bidang pendidikan, memaksa kita untuk berdiam sejenak dan merenungkan kembali dasar-dasar dalam berkehidupan yang baik dan benar. Dunia pendidikan didasarkan pada kemampuan membaca dan menulis. Oleh karena itu, mari kita memulai kembali dari nol. Tidak ada salahnya mundur selangkah untuk maju dua langkah. Kemajuan teknologi informasi tampaknya sudah terlalu memanjakan hingga membuat hal-hal dasar menjadi tidak bernilai penting, padahal ada alasan mengapa hal tersebut disebut dasar (dan juga pondasi), menyebabkan minat dan kemampuan membaca muda mudi stagnan selama hampir 2 dekade. Semoga saja metanoia literasi ini dapat segera terwujud kedepannya. Termanjakan oleh mesin pencari menyebabkan buku, baik fisik maupun digital, terkesan tidak efektif dan membacanya secara menyeluruh terkesan membuang-buang waktu dibandingkan dengan mencari langsung ke informasi yang ingin diketahui meskipun memiliki risiko ketidakakuratan yang tinggi.

Terwujudnya metanoia literasi merupakan harapan sederhana dan tidak muluk-muluk. Selain untuk menebus tri-diryah pendidikan, metanoia literasi merupakan salah satu cara untuk membentuk anak bangsa menjadi generasi yang siap menerjang dan menghantam segala tantangan. Salah satu tantangan yang sedang kita hadapi adalah kemampuan untuk berpikir kritis. Kebanyakan dari masyarakat, khususnya dengan pendidikan rendah dan menengah ke bawah, cenderung menerima dan menelan semua informasi yang mereka terima dan dengar mentah-mentah tanpa ada pertimbangan sama sekali. Tingkat penyebaran berita hoaks yang cenderung cepat tersebar luas menunjukkan tidak adanya usaha untuk menyaring dan menelaah, atau setidaknya sekadar berpikir sekilas, tentang informasi yang diterima. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya sudah terkubur budaya literasi dalam tanah air ini.

Kemampuan dan budaya literasi bukan lagi sekadar membaca dan menulis, tetapi sudah mencakup pemahaman dan kemampuan berpikir dengan cerdas dan terstruktur, kekreativitasan, dan kemampuan untuk memahami apa yang tersirat dari yang tersurat.[12] Metanoia literasi dapat menjadi jalan keluar bagi tiga dosa pendidikan Pak Menteri dan sekaligus menjadi gerakan yang mengubah dan memperbaiki kualitas generasi. Sebagaimana ada yang yang mengatakan “kemajuan suatu bangsa terletak pada genggaman para pemuda”, maka kuat tidaknya genggaman para pemuda tersebut ditentukan oleh seberapa kuat kemampuan mereka dalam ‘mendorong’ bangsa ini. Meski terlihat tidak berarti, namun dengan mengonsumsi sebuah bacaan setiap hari sangat terbukti dapat menambah kekuatan pada genggaman yang memicu kemajuan suatu bangsa.

Membaca dapat meningkatkan secara pasti kemampuan sebuah generasi dalam mendorong bangsanya menuju suatu perubahan yang progresif. Membaca dan berliterasi hendaknya tertanamkan dalam raga seorang muda sebagai kebutuhan dan bukan sekadar rutinitas dalam sekolah. Hal besar dimulai dari hal kecil mendasar terlebih dahulu. Ketidakminatan membaca akan berakibat tidak adanya cukup pengetahuan dan kemampuan untuk sekadar bertahan hidup dalam zaman serba canggih ini. Juga tidak dimilikinya kemampuan berliterasi dapat membuat negeri tertinggal dan terinjak-injak oleh derap pasukan teknologi dan perkembangan zaman yang melangkah dengan pesat dan cepat. Semoga saja cita-cita sederhana akan terwujudnya metanoia literasi dapat terwujud cepat atau lambat.

Peningkatan anggaran nasional yang mencapai dua kali lipat sejak 2009 hingga 2017 lalu[13] setidaknya menandakan adanya upaya keras pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Meskipun hasil faktualnya tidak menunjukkan kelipatan yang sama besar. Anggaran pendidikan sebesar itu, yang dirancang sedemikan rupa dengan tujuan meningkatkan dengan signifikan kualitas pendidikan di seluruh penjuru nusantara, pada nyatanya hanya dapat meningkatkan kualitas pendidikan sekecil itu. Sebesar apapun anggaran jika hanya difokuskan kepada pembangunan sarana dan pra sarana serta dipergunakan untuk kepentingan kantong pihak-pihak tertentu tentu saja tidak akan menunjukkan hasil yang maksimal, malahan mungkin tidak akan menghasilkan apapun.

Sebaliknya, penanaman secara mendalam paham bahwa membaca dan literasi merupakan hal vital pembentuk manusia yang intelektual dapat menunjukkan hasil akhir peserta didik yang berkualitas dan dengan memakan biaya yang tidak banyak. Harga sebuah buku tidak ada artinya jika dibandingkan dengan nilai yang terkandung didalamnya. Menumbuhkan minat berliterasi dalam jiwa peserta didik tentu tidak memakan biaya besar hingga harus menggandakan anggaran tetapi dampak yang akan dirasakan kelak sangat besar. Salah satunya adalah tercapainya kualitas pendidikan yang bersifat pembangunan secara berkelanjutan dan bukan kaleng-kaleng pada tahun 2030 nanti.

Tidak hanya ditebus, tiga dosa pendidikan kita akan dapat ditumpas habis dan hilang bersamaan dengan cacat lain dalam dunia pendidikan jika metanoia literasi dapat terlaksana. Dengan adanya kesadaran secara utuh dan menyeluruh serta mendalam bahwa membaca dan berliterasi merupakan kebutuhan hidup akan menjadi pion pertama efek domino dimana dibelakang sana pion terakhir, yakni Indonesian menjadi negara dengan ekonomi terkuat dan terbesar pada tahun 2030 nanti, sudah menunggu untuk terealisasikan. Tri-diryah pendidikan tidak akan dikenal dan bukan merupakan suatu hal yang dipusingkan jika dahaga akan ilmu pengetahuan sudah diidamkan dalam jiwa dan raga seseorang sejak dini.

Negara kepulauan terbesar di dunia dimana kita bernaung sekarang ini masih memerlukan bimbingan dalam menghadapi derasnya arus revolusi industri 4.0. Derasnya terjangan perkembangan zaman juga semakin kuat menghantam dengan adanya dorongan dari pernyataan Sri Mulyani pada 12 Maret lalu bahwa dalam beberapa tahun kedepan akan ada beberapa ancaman besar bagi perekonomian Indonesia, diantaranya krisis perubahan iklim, konsentrasi digital, dan mengenai kemanan digital.[14] Sebelum ketiga hal tersebut menjadi tri-diryah 2.0, ada baiknya metanoia literasi sudah mulai tertanam secara luas. Ketiga ancaman calon tri-diryah 2.0 yang mengintai menurut bendahara negara kita tersebut dapat dicegah dengan literasi yang baik mengenai lingkungan dan internet, yang sumber-sumber terbaiknya dapat ditemukan kapanpun dan dimanapun. Tetapi dengan catatan dapat memilih dan memilah sumber yang baik dan benar, atau singkatnya dengan kemampuan berliterasi yang baik.

Metanoia literasi didukung oleh lirik stanza kedua lagu Indonesia raya, yakni ‘Sadarlah hatinya, sadarlah budinya, untuk Indonesia raya’. Belum banyak yang menghafal stanza kedua dan ketiga lagu kebangsaan kita memang, namun sebanyak-banyaknya angka pasti hasilnya bahkan masih akan tetap kalah dengan jumlah masyarakat yang paham makna stanza pertama lagu pengiring penaikan bendera tersebut. Putera sang fajar, Ir Soekarno sendiri yang mengusulkan lirik pada stanza kedua tersebut dengan berpendapat bahwa ‘tak akan bangun raga seseorang jika jiwanya tidak terlebih dahulu bangun. Hanya seorang budak yang badannya bangkit namun jiwanya tidak’. Demikian pun dengan timbulnya kesadaran dalam jiwa seseorang mengenai pentingnya literasi maka dapat dipastikan negara akan mengalami lonjakan pertumbuhan yang masif.

Memang benar, mempertahankan kemerdekaan jauh lebih sukar daripada merebutnya. Dengan revolusi industri 4.0 yang terjadi begitu cepat, kemerdekaan negeri tercinta ini perlahan lahan mulai berkurang dan tanpa disadari kita sudah kembali menjadi negara terjajah. Terjajah secara intelektual, terjajah secara karakter, terjajah secara akal budi, dan segala bentuk terjajah lain sebenarnya sedang berlangsung dan mengonsumsi sumber daya, baik alam maupun manusia, dengan pelan tapi pasti. Termasuk terjajah dalam berliterasi dimana penjajah dengan yang dijajah sama-sama merupakan bangsa Indonesia sendiri. Raga intelektual bangsa akan terus tertidur selama jiwanya tidak dibangunkan, atau mungkin selama jiwanya dipaksa untuk terus tertidur.

Bagaimana kecerdasan bangsa tidak tak tertidur, buku pelajaran yang digunakan sebagai sumber utama para siswa dalam memperoleh pendidikan saja saat ini masih mengalami politisasi. Dunia pendidikan telah dijadikan sarana untuk menjalankan propaganda politik dengan memasukkan muatan politik didalamnya. Mungkin ternyata nanti akan terkuak bahwa kehausan akan ilmu pengetahuan tidak ada dalam batin siswa dikarenakan sumber pengetahuan itu sendiri tidak layak konsumsi. Mungkin ternyata nanti akan terkuak minat membaca tidak ada dikarenakan bacaan itu sendiri tidak menarik minat. Mungkin ternyata nanti akan terkuak minat membaca tidak berkembang selama 18 tahun dikarenakan kualitas pendidikan yang tidak berkembang mengikuti perkembangan zaman, sebagaimana didefinisikan mengenai sistem pendidikan nasional. Politisasi buku pelajaran ini pun menurut Arjuna Putra Aldino, Ketum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), telah mengotori dan merupakan (lagi-lagi) tragedi yang menyedihkan dunia pendidikan.[15]

Pemaparan di atas telah cukup menjelaskan mengapa mimpi akan metanoia literasi dalam pendidikan harus terpenuhi. Perubahan yang besar dimulai dari diri sendiri. Demikianpun untuk merubah suatu bangsa, diperlukan perubahan kecil setiap warga negara. Metanoia literasi, sebuah kesadaran secara menyeluruh mengenai vitalnya kemampuan membaca dan menulis. Sebuah awal akan hal-hal besar yang akan terjadi di depan nanti. Sebuah penebusan dan jalan keluar terhadap tiga dosa pendidikan. Sebuah gerakan kecil yang akan memulai gebrakan besar bagi bangsa. Sebuah perubahan sederhana yang dicita-citakan bagi bumi pertiwi ini. Sebuah harapan untuk menyadikkan benang kusut pendidikan nusantara.

Perubahan dalam diri masyarakat, metanoia itu sendiri, sebenarnya sudah terbentuk dalam pribadi anak bangsa sejak lama. Metanoia diartikan juga sebagai perubahan secara spiritual, dan masyarakat Indonesia telah lama hidup sebagai manusia beragama. Namun agama tanpa ilmu sama saja lumpuh. Dalam mengamalkan nilai-nilai agama akan diperlukan ilmu dan dalam penerapan ilmu pengetahuan perlu adanya agama untuk melembarinya. Keduanya harus seimbang dan tidak berat sebelah agar seorang manusia dapat menjadi selayaknya manusia yang berilmu dan beradab. Alangkah indahnya masa depan pulau melati pujaan bangsa ini terbayang dalam angan dengan adanya metanoia literasi . Hendaklah kelak bayangan keindahan itu bukan menjadi bayangan belaka saja, tetapi menjadi kenyataan di masa depan.

Tidak ada salahnya mempunyai mimpi dan angan yang tinggi. Sebagaimana Bapak Proklamator kita Ir Soekarno pernah berkata ‘Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang’. Indah didengar bukan. Namun, jatuh di antara bintang-bintang berarti jatuh di luar angkasa. Jatuh di ruang kosong hampa udara tanpa apapun selain kegelapan dan kekosongan. Cukup terdengar tidak menyenangkan ya. Tak apa bermimpi setinggi langit, tetapi jangan lupa untuk memperhitungkan rasa sakitnya jika mimpi tersebut jatuh kedalam lembah terdalam. Satu saja harapan sederana yang dicitakan bagi negeri pusaka abadi nan jaya tercinta, setidaknya untuk saat ini. Tidak muluk-muluk. Sebatas tumbuhnya minat membaca dan berliterasi. Sebatas munculnya keinginan kecil dan mendasar namun kuat untuk berubah. Sebatas munculnya perubahan mendalam akan pentingnya literasi yang tertanam kuat dalam raga tiap individu. Sebatas terwujudnya metanoia literasi. Kelak ketika tiba giliran generasi emas ini memimpin bangsa, metanoia literasi akan diingat sebagai tonggak awal dari kemajuan dan keberhasilan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, Jon. “Krisis Literasi dan ‘Tragedi Nol Buku’”. Opini Tribunnews, 28 Januari 2019.

Hartanto, Agas Putra. “Terkait Hasil PISA, Mendikbud Nadiem: Indonesia Krisis Literasi”. JawaPos, 4 Desember 2019.

Setianingsih, Eka Sari. GADGET “PISAU BERMATA DUA” BAGI ANAK?. 2019. Seminar Pendidikan Nasional (SENDIKA) (Vol. 1, No. 1, pp. 397-405).

Warni, Afria, Rengki, (2021) PENGUATAN KEMAMPUAN LITERASI PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS JAMBI. (Muaro Jambi, Jambi), 8-13.

Felta, (2021) PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA SEKOLAH DASAR 2 AMBEUA DI ERA REVOLUSI 4.0. ( Kendari, Sulawesi Tenggara).

Lubis, Rahmat Rifai, (2020) HISTORISITAS DAN DINAMIKA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA. (Medan, Sumatera Utara).

Sutartono, (2015) Pentingnya Literasi Informasi Dalam Menyongsong MEA. Seminar Nasional FISIP-UT 2015 : Peluang dan Tantangan Indonesia Dalam Komunitas ASEAN 2015, 26 Agustus 2015, Balai Sidang Universitas Terbuka (UTCC).

Putra, Ilham Pratama. “Kemampuan Literasi Indonesia Mandek Selama 18 tahun”. Medcom.id, 2 April 2020.

Pamungkas, Suluh. “Kurikulum Pendidikan Harus Mengikuti Perkembangan Zaman”. TribunJogja, 4 November 2019.

Diakses dari https://www.prosperity.com/globe/indonesia pada 13 Maret 2021.

Dewi, Retia Kartika. “Perjalanan Kasus Virus Corona di Indonesia”. Kompas, 2 September 2020.

Tysara, Laudia. “Literasi adalah Kualitas Melek Aksara, Pahami Sejarah, Jenis-Jenis dan Peran Pentingnya” Liputan6, 22 Februari 2021.

Margaretha, Evalinda, Simanjuntak, Robert A, (2020) DAMPAK BELANJA SEKTOR PENDIDIKAN TERHADAP KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA. (Jakarta), 37-45.

Sandi, Ferry . “Sri Mulyani Beberkan Hal Besar Ancam Ekonomi RI, Ngeri!” CNBC Indonesia, 13 Maret 2021.

 Nashrullah, Nashih. “Dugaan Politisasi Buku Pelajaran, GMNI: Evaluasi Kemendikbud” Republika, 10 Februari 2021.


[1] Darmawan, Jon. “Krisis Literasi dan ‘Tragedi Nol Buku’”. Opini Tribunnews, 28 Januari 2019.

[2] Hartanto, Agas. “Terkait Hasil PISA, Mendikbud Nadiem: Indonesia Krisis Literasi”. JawaPos, 4 Desember 2019.

[3] Setianingsih, Eka Sari. GADGET “PISAU BERMATA DUA” BAGI ANAK?. 2019. Seminar Pendidikan Nasional (SENDIKA) (Vol. 1, No. 1, pp. 397-405).

[4] Warni, Afria, Rengki, (2021) PENGUATAN KEMAMPUAN LITERASI PADA MAHASISWA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS JAMBI. (Muaro Jambi, Jambi), 8-13.

[5] Felta, (2021) PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA SEKOLAH DASAR 2 AMBEUA DI ERA REVOLUSI 4.0. ( Kendari, Sulawesi Tenggara).

[6] Lubis, Rahmat Rifai, (2020) HISTORISITAS DAN DINAMIKA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA. (Medan, Sumatera Utara).

[7] Sutartono, (2015) Pentingnya Literasi Informasi Dalam Menyongsong MEA. Seminar Nasional FISIP-UT 2015 : Peluang dan Tantangan Indonesia Dalam Komunitas ASEAN 2015, 26 Agustus 2015, Balai Sidang Universitas Terbuka (UTCC).

[8] Putra, Ilham Pratama. “Kemampuan Literasi Indonesia Mandek Selama 18 tahun”. Medcom.id, 2 April 2020.

[9] Pamungkas, Suluh. “Kurikulum Pendidikan Harus Mengikuti Perkembangan Zaman”. TribunJogja, 4 November 2019.

[10] Diakses dari https://www.prosperity.com/globe/indonesia pada 13 Maret 2021.

[11] Dewi, Retia Kartika. “Perjalanan Kasus Virus Corona di Indonesia”. Kompas, 2 September 2020.

[12] Tysara, Laudia. “Literasi adalah Kualitas Melek Aksara, Pahami Sejarah, Jenis-Jenis dan Peran Pentingnya” Liputan6, 22 Februari 2021.

[13] Margaretha, Evalinda, Simanjuntak, Robert A, (2020) DAMPAK BELANJA SEKTOR PENDIDIKAN TERHADAP KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA. (Jakarta), 37-45.

[14] Sandi, Ferry . “Sri Mulyani Beberkan Hal Besar Ancam Ekonomi RI, Ngeri!” CNBC Indonesia, 13 Maret 2021.

[15] Nashrullah, Nashih. “Dugaan Politisasi Buku Pelajaran, GMNI: Evaluasi Kemendikbud” Republika, 10 Februari 2021.

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial