Bijaksana Menggunakan Media Massa Dalam Rangka Membangun Karakter Bangsa dan Menghentikan Demoralisasi di Masyarakat

0

Penulis : Rika Purnama LubisJuara 1 Lomba Esai Kategori Alumni

Editor : Norhayati Indah Sari

Media massa merupakan salah satu agen sosialisasi. Seiring dengan perkembangan zaman, selain keluarga, sekolah dan peer group, media massa memiliki peran yang semakin besar. Masing-masing agen sosialisasi ini diharapkan dapat menanamkan nilai yang positif dalam pembentukan karakter seseorang. Sosialisasi primer melalui keluarga maupun sosialisasi sekunder di masyarakat memiliki peran yang sama-sama penting bagi pembentukan karakter individu maupun karakter bangsa secara general.

Berdasarkan bentuknya, media massa dibedakan menjadi media cetak dan digital. Contoh media cetak adalah koran, majalah, brosur, spanduk, dan sebagainya. Sedangkan contoh media digital adalah televisi, radio, blog, website dan jejaring sosial. Di era modernisasi seperti saat ini media digital semakin tidak terlepas dari keseharian kita dan menggeser eksistensi media cetak di masyarakat. Hal ini didukung dengan sifat dari media digital yang lebih up to date, praktis dan mudah diakses dari berbagai kalangan.

Media digital yang paling umum digunakan di masyarakat kita saat ini adalah internet, jejaring sosial, dan televisi. Namun media-media tersebut masih memiliki banyak cela sebagai salah satu agen sosialisasi, yang mana kondisi ini semakin mengarahkan masyarakat kepada demoralisasi. Dalam jangka panjang, kebobrokan media digital ini akan mempengaruhi karakter bangsa secara umum.

Masyarakat Indonesia selama ini dikenal dengan sifat yang ramah di mata dunia. Namun di awal tahun 2021, Microsoft merilis hasil riset mereka tentang tingkat kesopanan pengguna internet. Riset tersebut dilakukan pada ±16,000 responden di 32 negara pada April – Mei 2020. Hasilnya menunjukkan Indonesia berada di urutan ke 29 dari 32 negara dengan Digital Civility Index (DCI) yang memburuk dari tahun sebelumnya. Posisi ini juga menempatkan Indonesia di posisi terendah di Asia Tenggara. Sehingga dengan kata lain, Indonesia mendapat julukan sebagai netizen paling tidak sopan di Asia Tenggara.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil riset tersebut adalah hoax, ujaran kebencian, dan diskriminasi yang semakin marak dilakukan oleh netizen Indonesia. Meskipun kita tidak dapat menggeneralisasi semua netizen atas hasil riset tersebut, namun secara garis besar, ini seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Jika terus dibiarkan tanpa komitmen perubahan yang lebih baik, dengan perkembangan masa depan media digital yang sudah diperkirakan oleh banyak ahli, maka internalisasi nilai dan norma dari media-media ini akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi perkembangan karakter masyarakat Indonesia.

Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M Ramli, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2020 berjumlah ±175.5 juta jiwa, yang mana jumlah ini mengalami peningkatan 17% dari tahun 2019. Hal ini bisa menjadi modal dan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Dikatakan sebagai modal karena hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk perluasan informasi maupun kesempatan kerja sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Namun di lain sisi, meningkatnya jumlah penggunaan internet juga harus diiringi dengan pengawasan yang aktif utamanya dari otoritas terkait dan masyarakat luas.

Sumber : Hootsuite,W e Are Social, 2020

Berdasarkan data di atas rata-rata waktu yang dihabiskan pengguna internet umur 16- 24 tahun 2020 di Indonesia adalah 7 jam 59 menit untuk menggunakan internet, 3 jam 26 menit untuk menggunakn media/jejaring sosial, dan 3 jam 4 menit untuk menonton televisi. Semakin tinggi intensitas dari aktivitas yang dilakukan seseorang, semakin besar pengaruh yang bisa didapatkannya. Namun kenyataan yang kita lihat, tidak ada jaminan bahwa pengaruh yang diberikan oleh media-media tersebut akan selalu bersifat positif.

Kasus berita kebohongan (hoaks) menjadi hal yang sudah lazim kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Lambatnya proses mendeteksi pelaku pembuat dan penyebar berita kebohongan, serta lemahnya sanksi membuat semakin banyak kasus berita kebohongan di berbagai bidang kehidupan dari berbagai kalangan. Informasi-informasi yang tidak benar dapat memunculkan keributan dan keresahan di masyarakat, kerugian materi, korban jiwa dan secara tidak langsung dapat menghambat proses pembangunan nasional akibat terjadinya disinformasi dan miskonsepsi di masyarakat.

Menurut data dari Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, penyebaran konten provokatif di Indonesia selalu menempati posisi laporan 2 teratas dalam hal tindak pidana siber setiap tahunnya. Semakin tinggi angka pengguna internet, konten provokatif akan semakin beresiko untuk merusak integrasi bangsa.

Salah satu kebiasaan buruk yang masih sering terjadi di masyarakat kita adalah menyebarkan informasi/konten tanpa mengutamakan kebenaran berita tersebut. Pada dasarnya setiap pihak perlu menyadari konsekuensi dari setiap informasi yang mereka bagikan kepada pihak lain. Selain memeriksa kebenaran isi konten, perlu pula diperhatikan asas kebermanfaatan bagi publik. Kebiasaan seperti ini harus ditanamkan sejak dini dari lingkungan keluarga dan sekolah. Selain itu diperlukan regulasi yang kuat untuk pencegahan dan tindak lanjut terhadap kasus hoaks dan penyebaran konten provokatif untuk memberikan efek jera dan meminimalisir terjadinya kasus serupa. Pemerintah melalui badan yang bertugas juga harus mampu meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi sumber hoaks dan konten provokatif secara cepat dan tepat. Ketika internet berkembang begitu pesat seperti saat ini, adalah tantangan bagi pemerintah untuk dapat mengimbangi perkembangan tersebut termasuk dalam hal kontrol.

Peningkatan angka pengguna internet di Indonesia juga akan berbanding lurus dengan peningkatan dalam penggunaan media sosial/jejaring sosial. Saat ini sudah banyak jenis jejaring sosial yang digunakan masyarakat Indonesia diantaranya Youtube, WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter, Tiktok, Telegram, dan sebagainya. Media-media ini digunakan sebagai perantara untuk melakukan komunikasi, penyebaran informasi, promosi, hiburan, pendidikan dan bisnis.

Berikut ini adalah potret penggunaan jejaring sosial yang bersifat destruktif di masyarakat kita saat ini:

  • Banyak ujaran kebencian (hate comments) yang dilontarkan kepada pihak lain, dengan maupun tanpa preferensi yang jelas. Tidak jarang ujaran kebencian dilakukan karena alasan subjektif. Masih minim kesadaran bahwa komentar di jejaring sosial dapat merugikan dan membahayakan orang lain. Ujaran kebencian dapat mengarah pada bully, pembunuhan karakter, dan pencemaran nama baik. Ujaran kebencian bisa dilaporkan kepada pihak berwajib karena termasuk salah satu tindakan pidana yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
  • Pengguna jejaring sosial (netizen) di Indonesia terbiasa untuk mengomentari pihak lain bahkan menghakimi secara verbal. Banyak orang yang memposisikan dirinya sebagai komentator dan juri dari aksi yang dilakukan orang lain. Memberikan komentar di jejaring sosial memiliki banyak pengertian di masyarakat. Ada yang mengartikannya sebagai bentuk kebebasan berpendapat, komunikasi jarak jauh untuk memperluas relasi, maupun bentuk untuk menujukkan ketertarikan akan suatu hal. Namun pada beberapa kondisi, komentar di jejaring sosial diartikan sebagai bagian dari sanksi sosial dan pengendalian sosial di masyarakat. Sayangnya jika semua orang menempatkan dirinya sebagai “hakim” maka akan timbul chaos di tengah-tengah kita karena saling menunjuk kesalahan satu sama lain.
  • Timbul budaya serba ingin tahu. Hal ini bisa menjadi positif manakala informasi yang dicari merupakan informasi yang bermanfaat. Nyatanya asas kebermanfaatan masih sering dikesampingkan dengan mengutamakan sensasi dan kontroversi. Dengan kata lain, netizen terbiasa mencari tahu dan mengulik apa yang sedang menjadi sorotan publik meskipun informasi tersebut tidak bermanfaat baginya.
  • “kecanduan” terhadap jejaring sosial. Arus informasi dari jejaring sosial relatif cepat menyesuaikan dengan kondisi global. Ketika semua informasi tersedia dalam genggaman melalui perangkat-perangkat media elektronik yang canggih seperti smartphone dan tablet, orang cenderung memeriksa jejaring sosial secara terus- menerus untuk dapat meng-update informasi. Perlu penekanan dan pemahaman yang fundamental bahwa jejaring sosial bukanlah satu-satunya aspek kehidupan yang harus terus kita update. Kita sebaiknya dapat menentukan porsi yang pas dalam menggunakan jejaring sosial untuk tetap dapat menjalankan pola hidup yang berimbang. Tampak sederhana dengan akses yang mudah dan fleksibel, namun jarang jejaring sosial tanpa disadari telah menyita banyak waktu kita. Jika informasi yang didapatkan tidak diolah menjadi nilai tambah bagi diri kita, maka artinya kita sudah banyak membuang kesempatan dan menjadi pribadi yang tidak produktif.

Beberapa kondisi di atas merupakan potret penggunaan jejaring sosial di Indonesia yang cukup memprihatinkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah perkembangan teknologi dan komunikasi yang lebih pesat daripada kesiapan di masyarakat, sehingga tidak semua masyarakat dapat menyadari esensi penggunaan jejaring sosial itu sendiri. Tentu saja kondisi ini memiliki urgensi tersendiri untuk diperhatikan. Perlu adanya pengembangan dan penuntunan pola pikir bahwa jejaring sosial bukan hanya media untuk mengekspresikan diri dan menjalin hubungan sosial yang lebih luas, namun menjadi peluang baru bagi kita untuk mengambil peran yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Pada umumnya pihak developer suatu jejaring sosial telah menetapkan batas minimal usia pengguna (age restriction). Rata-rata jejaring sosial menetapkan aturan penggunanya berumur 13 tahun ke atas. Hal ini untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan pada anak di bawah umur, di mana user yang telah memenuhi syarat usia minimal dianggap sudah mampu untuk melakukan seleksi konten yang relevan untuk pribadinya. Namun kembali kita dihadapkan pada kenyataan, pembatasan usia minimal ini hanya menjadi sebuah formalitas di masyarakat. Sudah tidak asing bagi kita untuk menemukan anak di bawah umur yang aktif menggunakan jejaring sosial bahkan tanpa pengawasan orang tua.

Keluarga mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar untuk memastikan anak- anaknya dapat menggunakan internet dan jejaring sosial dengan bijaksana dan sesuai ketentuan. Sebagai agen sosialisasi primer, keluarga tidak hanya menanamkan dan mentransfer nilai dan norma guna mempersiapkan seorang anak sebelum terjun ke masyarakat, namun turut melakukan kontrol dan pengendalian. Kerja sama antara keluarga dan pihak sekolah juga diperlukan sebagai lingkungan yang paling dekat dengan seorang anak. Sedangkan pemerintah diharapkan dapat lebih aktif membuat regulasi dan kontrol eksternal di bidang ini. Salah satunya sebagaimana usulan untuk menaikkan batasan menjadi 17 tahun bagi pengguna jejaring sosial yang hingga saat ini masih dalam tahap pembahasan Rancangan Undang-Undang oleh Pemerintah dan Komisi I DPR RI.

Selain regulasi pemerintah juga harus menyiapkan langkah untuk implementasi yang paling efektif. Bagaiamana mendeteksi kebenaran data pengguna jejaring sosial, mengingat tidak sedikit pengguna yang sengaja menggunakan identitas yang tidak sahih dan melakukan pemalsuan akun. Perlu dilakukan gerakan secara nasional seperti campaign untuk menekankan bahwa “jejaring sosial bukan untuk anak di bawah umur” dan menghimbau kepada setiap elemen masyarakat untuk dapat menggunakan jejaring sosial secara bijaksana. Adapun laporan dari segala bentuk pelanggaran dan penyalahgunaan jejaring sosial harus dapat diproses dengan memberikan efek jera kepada pelakunya.

Platform lain yang menjadi penting bagi pembentukan karakter bangsa adalah televisi. Televisi merupakan media digital yang paling umum di Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah familiar dengan penggunaan televisi dalam kehidupan sehari-hari bahkan sejak usia dini. Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, rata-rata orang Indonesia usia 16-24 tahun menghabiskan waktu sekitar 3 jam untuk menonton televisi. Sedangkan menurut Studi Nielsen pada 2018, durasi menonton TV di masyarakat Indonesia rata-rata adalah 4 jam 53 menit setiap harinya. Angka ini dapat menunjukkan tingganya tingkat konsumsi konten pada masyarakat Indonesia. Dengan ini harus kita sadari bahwa televisi menjadi platform yang cukup strategis untuk melakukan tugasnya sebagai agen sosialisasi.

Indonesia memiliki lebih dari 10 stasiun televisi nasional, diantaranya adalah TVRI, RCTI, MNCTV, GTV, iNews, SCTV, Indosiar, ANTV, tvOne, MetroTV, Trans7, Trans TV, Kompas TV, dan NET. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 menyatakan bahwa TVRI adalah Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersil, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Namun tidak dapat dipungkiri eksistensi TVRI saat ini dikalahkan oleh televisi swasta yang menawarkan berbagai pilihan program siaran.

Hal yang sangat disayangkan adalah banyaknya program-program televisi saat ini yang tidak mengedukasi masyarakat. Televisi saat ini sudah dominan menjadi lahan bisnis dengan mengesampingkan nilai edukasi dan pembangunan mental masyarakat. Idealnya televisi memberikan informasi, edukasi, dan pemberitaan terkait kepentingan publik. Beberapa stasiun televisi dalam hal ini sejalan dengan fungsi tersebut diantaranya TVRI, tvOne, Metro TV dan Kompas TV. Sedangkan stasiun televisi lainnya lebih mengedepankan konsep sebagai media hiburan.

Masyarakat harus membuka mata dan bercermin dari pola hidup masyarakat modern di negara maju, bagaimana mereka menggunakan media seperti televisi dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana pihak televisi menyajikan program-program yang lebih berbobot bagi penontonnya. Potret negatif program-program televisi di Indonesia diantaranya:

  1. Terlalu banyak program infotainment.

Program semacam ini biasanya memberitakan berbagai hal tentang artis/publik figur termasuk kehidupan pribadinya. Nyatanya hal tersebut belum tentu berpengaruh bagi kepentingan publik. Program seperti ini akan hadir sepanjang hari mulai dari pagi hingga sore hari sepanjang tahun. Beberapa contoh program infotainment yang masih aktif hingga saat ini diantaranya Kabar-Kabari, Intens, Selebrita Pagi, Hot Shot, Halo Selebrity, Obsesi, Silet, Selebrita on The Weekend, Status Selebriti, Kiss Pagi, Seleb on Cam, iSeleb, Hot Issue Pagi, Seleb Expose, Insert Pagi, Insert Siang, Insert Today, Insert Story, Potret Selebriti dan sebagainya. Dapat kita visualisasikan program-program infotainment tersebut terus berlangsung dan kadang menjual informasi yang bersifat privasi untuk menjadi konsumsi publik. Tidak hanya itu, program seperti ini juga sering memberikan pemberitaan secara berlebihan untuk meningkatkan nilai jual di mata penonton.

Artis adalah pekerja seni, publik figur adalah sosok yang memiliki pengaruh bagi masyarakat luas. Dapat dikatakan kita gagal membangun konsep “kehidupan pribadi seseorang, termasuk artis bukanlah hal yang seharusnya dijadikan konsumsi publik”. Sangat kontras dengan beberapa negara maju yang sangat meminimalisir tayangan-tayangan seperti ini di televisi nasional dan memfokuskan pemberitaan kepada hal-hal yang lebih penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun beberapa program terkait publik figur akan menggunakan format pemberitaan secara formal untuk menginformasikan proyek kerja, karya dan aktivitas-aktivitas publik figur yang mempunyai korelasi dengan kepentingan masyarakat luas. Tidak seperti di Indonesia yang menyajikan pemberitaan artis dan publik figur dengan format yang non formal dan santai serta dengan sengaja membuka kesempatan untuk adanya tanggapan dan komentar langsung dari pembawa acara, yang sebenarnya terlalu berlebihan dan tidak diperlukan. Beberapa program infotainment bahkan lebih intens dan terperinci hingga melibatkan penelusuran yang lebih terstruktur oleh pihak pembuat acara guna menyajikan berita yang lebih lengkap. Sangat disayangkan upaya dan sumber daya yang besar digunakan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu bermanfaat bagi kehidupan banyak orang.

Selama program-program infotainment tidak diberhentikan, maka masyarakat Indonesia bahkan generasi muda sejak dini sudah dibiasakan untuk menjadikan kehidupan orang lain sebagai tontonan. Selain membuang-buang waktu, tontonan seperti ini juga tidak mendukung perkembangan sumber daya manusia di Indonesia

2. Penyajian program yang tidak edukatif.

Apapun jenis program televisi, baik berita dan non berita tentu harus mengutamakan unsur kepantasan dan edukasi. Jenis program hiburan bukan berarti semata-mata membuat penonton merasa terhibur dan membenarkan segala cara yang digunakan untuk menghibur. Beberapa tahun terakhir pola program hiburan terkesan semakin bebas dengan munculnya berbagai tayangan yang mengandung perundungan verbal, umpatan, pamer, pembeberan privasi, provokasi dan diskriminasi.

Unsur perundungan verbal, umpatan, pamer, pembeberan privasi, provokasi dan diskriminasi dapat kita temukan secara frontal maupun tersirat. Jika dilihat dari karakter masyarakat Indonesia secara umum baik dari segi tingkat pendidikan, usia, maupun persebaran penduduk, tidak semua penonton dapat mengidentifikasi hal-hal tersebut sebagai nilai yang tidak pantas untuk ditiru. Dengan semakin seringnya hal-hal negatif tersebut mengudara melalui siaran televisi, maka masyarakat hanya akan semakin familiar dan terbiasa dengan pola tingkah laku seperti itu dan dikhawatirkan membangun watak/karakter yang tidak terpuji. Tentunya hal ini sangat disayangkan mengingat televisi yang seharusnya cukup efektif untuk memberikan pengaruh positif malah secara perlahan-lahan terus membawa pengaruh yang menjurus pada demoralisasi di masyarakat.

3. Mendramatisasi sensasi dan kontroversi.

Sensasi dan kontroversi di Indonesia saat ini mempunyai nilai komersil yang relatif tinggi. Fenomena seperti ini memang semakin banyak ditemukan beberapa tahun belakangan. Berbagai hal viral baik positif maupun negatif akan menjadi target bagi pembuat program televisi demi menarik minat penonton sebesar-besarnya. Untuk itu tidak jarang pula pembuat acara dengan sengaja membesar-besakan atau mendramatisir hal-hal yang sedang viral.

Orang-orang yang aktif di berbagai program televisi kini tidak hanya berasal dari para pelaku seni dan influencer, namun kita akan sering juga menemukan orang- orang yang tidak berprestasi dan hanya menjual kepopuleran melalui jalan viral. Ini tidak terlepas dari pengaruh jejaring sosial. Berikut ini salah satu ilustrasi kasus yang menggambarkan bagaimana jejaring sosial bisa digunakan sebagai media untuk menarik perhatian umum hingga mendapat tempat di beberapa program televisi:

”Si A melakukan aksi pamer sebagai orang kaya dengan merendahkan orang- orang yang berbeda level dengannya, dan dengan sengaja mengunggah aksi tersebut di halaman jejaring sosialnya. Publik memberikan berbagai reaksi atas aksi yang dilakukannya tersebut hingga menjadi konten yang dianggap viral karena terlalu banyak dibicarakan di masyarakat. Melihat respon yang demikian besar, beberapa program televisi nasional mengundang si A untuk menjadi bintang tamu dalam acara mereka.”

Dari ilustrasi di atas, mari kita telaah beberapa hal berikut ini:

  • Siapa yang diuntungkan atas kejadian tersebut? Tentu saja pembuat program televisi dan Si A sebagai pelaku.
  • Bagaimana program televisi mendapat keuntungan melalui Si A? Semakin banyak penonton yang tertarik pada konten program tersebut, semakin bagus bagi rating, iklan maupun sponsor yang akan masuk ke acara tersebut.
  • Bagaimana Si A mendapatkan keuntungan? Si A mendapatkan honor dari program-program televisi yang mengundangnya. Semakin banyak perhatian yang tertuju padanya, semakin mudah baginya untuk melakukan promosi untuk bisnisnya sendiri ataupun endorse untuk bisnis/produk milik orang lain. Ini semua akan menjadi sumber pendapatan yang baru baginya.
  • Apa keuntungan bagi masyarakat luas sebagai penonton? Hampir tidak ada manfaat atau keuntungan yang didapatkan penonton dalam kejadian ini. Sedangkan resiko terburuknya adalah muncul kasus-kasus serupa yang sengaja dilakukan oleh Si B, Si C, dan seterusnya karena telah terinspirasi dari kasus Si A untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Kasus seperti ilustrasi di atas tidak hanya dilakukan oleh beberapa oknum yang awalnya tidak dikenal, tapi juga banyak dilakukan oleh publik figur untuk mempertahankan eksistensinya di dunia hiburan. Kiranya sampai kapan fenomena seperti ini akan terus berkembang dan dipertahankan di pertelevisian dan media digital di Indonesia? Siapakah yang akan peduli terhadap perkembangan media digital yang tidak sehat ini? Bagaimana cara kita mengubah kebiasaan buruk ini?

Setiap tayangan di televisi memiliki sistem rating konten seperti SU (Semua Umur), R (Remaja), BO (Bimbingan Orang Tua) dan sebagainya. Namun hal ini dapat kita katakan sebagai formalitas belaka jika format acara dan konten yang tidak sehat masih terus diizinkan untuk ditayangkan. Tidak ada jaminan bahwa acara dengan rating D (Dewasa) tidak ditonton oleh anak di bawah umur. Pemilihan jam tayang juga merupakan sebuah alternatif yang belum tentu efektif. Apalagi program-program yang tidak sehat tersebut hadir sepanjang hari seperti yang sudah dipaparkan di atas.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat ini dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks dengan semakin banyaknya jenis program-program tayangan yang dihadirkan oleh setiap stasiun televisi. Sebagai sebuah organisasi yang berorientasi pada profit, stasiun televisi swasta akan mengutamakan rating dan share televisi. Rating dan share adalah perhitungan jumlah dan persentase penonton yang dijadikan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu program maupun stasiun televisi tersebut. Hal ini akan erat kaitannya dengan iklan yang menjadi sumber pemasukan bagi sebuah stasiun televisi. Perlu diingat, rating dan share tidak mencerminkan kualitas suatu program televisi. Oleh sebab itu dibutuhkan lembaga negara yang independen seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Visi KPI adalah terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. KPI juga mempunyai wewenang untuk mengembangkan kebijakan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan isi siaran. Penguatan KPI perlu dilakukan dengan pengembangan regulasi beserta implementasi dengan sumber daya yang mendukung, serta melarang penyiaran yang bersifat tidak edukatif. Rancangan untuk reformasi penyiaran di Indonesia bersifat krusial untuk dilakukan melalui perundang-undangan maupun peraturan KPI. Salah satunya dengan larangan penyiaran bagi program infotainment yang tidak sesuai dengan kepentingan publik, dan program-program lain yang tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Begitu juga dengan kontrol terhadap media-media lain seperti YouTube, TikTok dan sebagainya maupun media cetak yang menampilkan konten-konten yang berpotensi memberikan pengaruh/efek bagi masyarakat luas.

Secara teori, sosialisasi primer terjadi dalam fase dimana individu belum masuk ke dalam bagian masyarakat, biasanya agen sosialisasi yang berperan dalam fase ini adalah keluarga. Tidak dapat dipungkiri seiring perkembangan zaman, internet, jejaring sosial dan televisi juga memainkan peran dalam fase ini. Artinya media massa telah memperkuat perannya sebagai agen sosialisasi dari segi waktu maupun kalangan yang dicakupnya. Terlebih Indonesia merupakan salah satu negara yang paling aktif mengkonsumsi konten dari media massa terutama media digital. Ketergantungan terhadap media digital ternyata bisa menjadi tantangan tersendiri karena perkembangan media itu sendiri yang tidak terkontrol di masyarakat kita.

Salah satu keprihatinan penulis adalah berkembangnya demoralisasi di masyarakat terutama pada generasi muda. Problematika ini perlu diidentifikasi dengan baik agar dapat segera dilakukan perbaikan yang terstruktur. Pemerintah diharapkan dapat mematangkan regulasi dan kontrol terhadap penggunaan media massa di Indonesia. Selain itu pemerintah harus dapat merangkul partisipasi segenap lapisan masyarakat guna mendukung usaha perbaikan tersebut. Kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menggunakan media massa menjadi salah satu cita-cita bagi pembangunan nasional baik pembangunan fisik dan non fisik. Mewujudkan media massa yang sehat untuk dapat mengantarkan kita menjadi Bangsa Indonesia yang maju dan modern seutuhnya dengan tetap belandasarkan nilai-nilai dasar yang sudah kita pegang sejak awal berdirinya negara ini adalah sebuah kewajiban yang harus terus kita usahakan. Karena salah satu kondisi ideal dari perkembangan teknologi bukanlah menjadikan manusia sebagai objek yang dikendalikan, melainkan manusia sebagai subjek yang akan berkembang searah dengan kemajuan teknologi ke arah yang lebih positif dan produktif.

Referensi

Fajar, T., 2019. Studi Nielsen: Pemirsa Indonesia Habiskan 5 Jam Nonton TV, 3 Jam Berselancar di Internet : Okezone Economy. [online] https://economy.okezone.com/. Tersedia di: <https://economy.okezone.com/read/2019/03/05/320/2025987/studi- nielsen-pemirsa-indonesia-habiskan-5-jam-nonton-tv-3-jam-berselancar-di-internet> (Diakses 11 Maret 2021).

Jayani, D., 2020. Orang Indonesia Habiskan Hampir 8 Jam untuk Berinternet | Databoks. [online] Databoks.katadata.co.id. Tersedia di <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/26/indonesia-habiskan-hampir-8- jam-untuk-berinternet#> (Diakses 14 Maret 2021).

Komisi Penyiaran Indonesia. 2016. Visi dan Misi. [online] Tersedia di <http://www.kpi.go.id/index.php/id/tentang-kpi/visi-dan-misi> (Diakses 14 Maret 2021).

Media, K., 2021. Netizen Indonesia Paling Tidak Sopan se-Asia Tenggara, Pengamat Sebut Ada 3 Faktor Penyebab Halaman all – Kompas.com. [online] KOMPAS.com. Tersedia di: https://www.kompas.com/sains/read/2021/02/26/194500523/netizen-indonesia- paling-tidak-sopan-se-asia-tenggara-pengamat-sebut-ada-3?page=all> (Diakses 11 Maret 2021).

Mursid, F., 2020. Kominfo: Pengguna Internet di Indonesia Capai 175,5 Juta |Republika Online. [online] Republika Online. Tersedia di:<https://republika.co.id/berita/qhgibx335/kominfo-pengguna-internet-di-indonesia-capai- 1755-juta-jiw> (Diakses 14 Maret 2021).

Patrolisiber.id. 2021. Patroli Siber. [online] Tersedia di: https://patrolisiber.id/statistic> (Diakses 14 Maret 2021).

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial