Juara 2 Kategori Mahasiswa : “Transformasi Sektor Pertanian untuk Swasembada Pangan Indonesia”
Penulis: Darwensy
Saya adalah Darwensy, mahasiswa semester 4 (empat) Universitas Terbuka. Saat ini saya sedang menjalani kuliah sambil bekerja sekaligus menjadi anak rantau di Pulau Dewata Bali. Jauh dari orang tua, membuat saya menjadi mandiri dalam menjalani hidup maupun menentukan pilihan. Memulai masuk peguruan tinggi dengan umur yang sudah cukup terlambat yaitu pada saat umur 23 tahun. Dahulu saya sangat apatis terhadap dunia pendidikan terlebih saya sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus. Sehingga semakin malas untuk melanjutkan pendidikan. Namun semua terpatahkan saat saya bertemu dengan seseorang yang sangat peduli dengan dunia pendidikan. Saat kami berbincang selalu ada banyak hal baru yang dia sampaikan dan hal tersebut membuat saya seakan merasa menjadi orang yang tidak tau apa – apa. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menempuh pendidikan lagi. Setelah saya mulai masuk peguruan tinggi, lingkungan saya juga seakan berubah. Dimana yang dulunya dipenuhi orang – orang yang hanya membicarakan masalah yang kurang penting sekarang lebih aktif membahas tentang isu sosial yang sedang terjadi di masyarakat.
Kehidupan yang saya jalani di Pulau Dewata sangat berbeda dengan kehidupan saya sebelumnya yaitu didesa tepatnya di Kediri Jawa Timur. Banyak hal baru yang saya rasakan dan ternyata dunia bukan hanya tentang orang-orang sekitar saya saja, melainkan banyak hal yang menarik untuk dipelajari. Selain itu banyaknya pendatang dari luar negeri maupun luar Pulau Bali sehingga banyak perbedaan yang terjadi mulai dari budaya, agama, tingkat sosial, dan sikap satu sama lain. Disisi lain banyak hal yang masih tersimpan yang menyimpan potensi untuk dikembangkan. Hingga puncaknya saat saya berlibur ke daerah Ubud, yang merupakan daerah pedesaan di Pulau Dewata Bali. Ternyata kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan di kota Denpasar. Daerah Ubud masih sangat sederhana dimana banyak lahan pertanian yang sangat subur, tak ayal banyak wisatawan luar negeri yang tertarik ke daerah tersebut. Namun disisi lain banyak juga lahan yang mulai dialih fungsikan menjadi resort dan home stay.
Dan hal tersebut yang membuat saya bertanya-tanya, potensi lahan pertanian di Bali yang subur lantas kenapa pemerintah masih impor bahan pangan dari luar negeri. Selain itu Pulau Bali yang sangat luas akan lautnya, namun pemerintah malah impor beras. Dan hal tersebut membuat harga menjadi sedikit mahal karena terkena biaya transportasi dan lain – lain. Dan hal itu juga membuat petani lokal merasa dirugikan, karena harus bersaing dengan produk luar negeri. Lantas apa hal yang mendasari hal tersebut.
Saya memberanikan diri bertanya kepada petani setempat. Dan berdasarkan pengakuan mereka, saat ini petani dianggap sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan. Mereka bertani hanya karena tidak ada pilihan walaupun sering merugi. Hasil yang mereka
peroleh terkedang tidak sesuai dengan usaha yang telah mereka lakukan. Sehingga banyak dari anak – anak mereka yang merantau ke kota untuk mencari penghasilan yang menjanjikan. Alasan tersebut cukup realistis, dan mungkin serupa dengan apa yang sedang saya alami saat ini. Merantau ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan memperbaiki finansial. Setelah mendengar hal tersebut, saya langsung teringat orang tua saya. Bagaimana dulu orang tua saya memberi nasihat, “ orang tua tidak apa – apa mencari nafkah dengan ditemani terik sinar matahari, kalau bisa anak jangan sampai mengalaminya”. Pada saat itu, saya belum begitu paham dengan makna nasihat tersebut. Namun pemikiran tersebut juga cukup berbahaya karena secara tidak langsung kedepannya akan banyak anak muda yang meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan bekerja di kota.
Setelah itu, saya kembali ke kota dan berbelanja disupermarket, sengaja saya melihat label produk – produk tersebut. Dan benar saja, masih banyak produk – produk luar negeri yang nagkring di rak belanja khusunya produk pertanian. Bahkan dari segi bentuk, memang sangat sempurna dan lebih menarik dari pada produk dalam negeri.
Hal tersebut sangat disayangkan, label sebagai negara agraris nyatanya tidak menjamin Indonesia menjadi negara yang mandiri akan produksi bahan pangan. Dan hal tersebut memaksa Indonesia harus impor dari luar negeri, untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tentu hal tersebut dapat mempengaruhi devisa negara dan sangat berimbas terhadap hasil pertanian dalam negeri karena harus bersaing dengan produk luar negeri. Impor memang solusi yang diambil ketika produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi permintaan dalam negeri. Seperti yang kita tau bahwa produk pertanian merupakan sumber kehidupan manusia. Bahkan menurut prediksi PBB jumlah penduduk dunia saat ini sebesar 7,7 miliar dan akan meningkat sebesar 9,8 milliar pada tahun 2050. Namun pada tahun 2050, dunia akan mengalami permasalah diantaranya berkurangnya sumber bahan pangan dan keseimbangan ekosistem. Hal tersebut merupakan permasalahan yang cukup kompleks. Sudah seharusnya petani di Indonesia dipersiapakan untuk menghadapi krisis pangan tersebut. Lantas bagaimana cara mempersiapkannya jika Indonesia sendiri saat ini masih banyak permasalah khususnya dibidang pertanian.
Untuk mencita – citakan Indonesia sebagai swasembada pangan dunia agaknya sulit tercapai apabila kerjasama antar instansi dan generasi masih belum tercapai. Petani saat ini masih mengalami permasalah yang cukup pelik, mulai dari persediaan lahan yang mulai berkurang, pupuk yang mengalami kelangkaan seperti pada tahun 2020, serta harga jual yang terkadang tidak sesuai dengan pasaran seperti yang terjadi pada petani tomat dan buah naga sehingga membuat petani membiarkannya membusuk begitu saja. Permasalah – permasalah tersebut agaknya sering terjadi di Indonesia bahkan sering terulang – ulang terutama menjelang musim panen. Selain itu petani di Indonesia merupakan salah satu dari golongan penduduk miskin di Indonesia dikarenakan pendapatan petani yang masih di bawah rata – rata. Untuk membuat petani Indonesia makmur dan mencapai swasembada bahan pangan agaknya masih sangat jauh dan sulit dicapai.
Gebrakan demi gebrakan telah dilakukan oleh pemerintah namun nyatanya semua hanya menjangkau kalangan tertentu dan kurang terealisir dengan baik terhadap petani kalangan bawah. Sungguh sangat disayangkan padahal kebijakan pemerintah sudah cukup baik. Namun mainset petani di Indonesia yang masih belum berubah sehingga membuat kebijakan demi kebijakan masih sangat sulit tercapai. Disisi lain banyaknya kalangan muda yang merupakan generasi milenial, yang sangat terbuka terhadap perkembangan teknologi namun justru malah mulai meninggalkan pekerjaan petani dan memilih pekerjaan yang lebih menjanjikan. Padahal jika perkembangan teknologi yang begitu pesat dan diterapkan dalam pertanian di Indonesia, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi pesaing dalam bidang ekspor hasil pertanian di dunia sejajar dengan Amerika Serikat, China, dan Australia.
Negara – negara maju terus mempertahankan pertaniannya, didukung oleh kekuatan teknologi yang dimilikinya. Bahkan Amerika Serikat dan China terus mengukuhkan posisinya sebagai pertanian terkokoh didunia. Hal ini dikarenakan peran pertanian yang sangat besar bagi perekonomian. Peran sektor pertanian dalam perekonomian meliputi dua hal baik sebagai kontribusi terhadap PDB Indonesia maupun sebagai penyerapan tenaga kerja. Di Indonesia sendiri petanian menjadi penyumbang terbesar nomor 3 (tiga) PDB Indonesia dengan angka kisaran 15%. Selain itu sektor pertanian mampu menyerap angka kerja sebesar 45%.
Di sisi lain seiriing dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia maka permintaan akan produk dan jasa pertanian akan mengalami peningkatan juga. Jika melihat potensi yang dimiliki oleh Indonesia, maka seharusnya Indonesia bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri saja melainkan juga sebagai pengekspor utama berbagai produk dan jasa pertanian, baik berupa bahan pangan, sandang, obat – obatan , kosmetik, bioenergi, agrowisata dan berbagai bahan baku untuk industri. Dengan sumber daya yang dimiliki Indonesia sudah seharusnya Indonesia menjadi eksportir utama hasil pertanian seperti beras, jagung, dan kedelai. Bahkan untuk pasar domestik saja Indonesia masih mengandalkan impor. Hal ini sangat disayangkan, potensi yang begitu besar tidak mampu dimanfaatkan dengan baik dan optimal. Jika berkaca dari negara tetangga seperti Thailand yang merupakan lumbung padi dunia, Australia sebagai pengekspor daging sapi terbesar, serta China yang mensuplai makanan hampir 22% dari populasi dunia. Walaupun Indonesia masuk sebagai ekportir terbesar nomor lima di dunia, dengan komoditas utama kelapa sawit. Namun di komoditas lainnya Indonesia masih belum mampu memenuhi domestik maupun internasional. Bagaimana hal ini dapat terjadi pada Indonesia yang merupakan negara agraris. Setelah dilihat lebih jauh lagi, banyak faktor yang melatari hal tersebut di antaranya :
- Pertama, pertanian di Indonesia masih sangat sederhana dibandingkan dengan negara – negara lain.
- Kurangnya dukungan dari berbagai pihak yang menyebabkan petanian dianggap kurang memiliki nilai sosial.
- Banyak generasi muda yang mulai meninggalkan bidang pertanian karena dianggap kurang menjanjikan baik dari segi finansial maupun prestige atau gengsi.
- Perkembangan teknologi yang terjadi diabad ini, justru membuat pertanian kehilangan nilainya sehingga pendapatan petani terus menurun.
- Banyak lahan di Indonesia yang mulai dialih fungsikan menjadi perumahan, sehingga hal ini mempengaruhi persediaan akan lahan pertanian.
- Pertanian dengan sistem modern masih terlalu awam bagi petani di Indonesia karena kurang literasi dan edukasi.
- Perusahaan besar terlibat terlalu besar sehingga mempengaruhi komoditas yang dihasilkan petani.
Dilansir dari Liputan6.com, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengumumkan hasil verifikasi luas lahan baku sawah. Berdasarkan hasil perhitungan ulang pada 2019 lalu, saat ini pemerintah mencatat terdapat 7.463.948 hektar lahan baku sawah. Pertanian di Indonesia masih sangat sederhana, sistem kerja yang masih tradisional dan perkembangan teknologi yang belum mampu menjangkau seluruh petani di Indonesia. Selain itu banyaknya anak muda yang sudah kehilangan minat untuk melakukan pekerjaan sebagai petani. Hal – hal di atas tentu saja yang mendasari semakin berkurangnya kontribusi pertanian di Indonesia terhadap PDB Nasional.
Padahal ketika terjadi krisis seperti pandemi yang saat ini melanda dunia, petani merupakan mata pencarian yang bisa dibilang tidak berdampak secara signifikan. Namun sistem kerja yang dianggap kasar sehingga orang kehilangan minat untuk menekuni pekerjaan tersebut. Sejarah krisis di Indonesia, misalnya krisis moneter 1997-1998 juga menyisakan catatan relatif bertahannya sektor pertanian dan bahkan menampung kembali tenaga-tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di perkotaan. Nampaknya peran sektor pertanian sebagai setor penyangga (buffer sector) di masa krisis akan terulang di tahun ini.
Selain imbas restriksi sosial yang dampaknya relatif kecil karena pusat produksi pertanian bukan di wilayah padat penduduk, sektor pertanian, terutama tanaman pangan, secara alamiah tidak akan separah sektor lain ketika terjadi krisis. Ini terjadi karena sifat barang-barang pertanian tanaman pangan yang elastisitas permintaannya rendah. Ketika ekonomi mengalami periode booming, permintaannya tidak akan meningkat pesat, demikian pula ketika terjadi resesi, permintaannya tidak akan menurun drastis.
Jika berkaca dari negara sakura Jepang, yang memiliki keterbatasan sumber daya alam terutama lahan pertanian tapi mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Hal ini didukung oleh sistem teknologi yang sangat maju di negera sakura tersebut. Dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, tentu hal ini seharusnya bisa di atasi. Dengan mengkombinasikan sumber daya manusia dan teknologi, maka bukan tidak mungkin pertanian di Indonesia menjadi terbesar di dunia.
Penduduk Indonesia yang mencapai angka 271,349 juta jiwa (berdasarkan data per Desember 2020). Dimana didominasi oleh generasi melenial yang sangat melek akan teknologi. Sebenarnya hal ini menjadi peluang yang sangat besar bagi Indonesia, menempatkan teknologi sebagai terobosan serta sumber daya manusia yang lebih familiar dengan teknologi. Revolusi pertanian di Indonesia sudah diterapkan di beberapa daerah di Indonesia namun belum semua mampu menerapkan hal tersebut. Permasalah pertanian di Indonesia sangat menarik untuk diuraikan. Pertanian sangat penting untuk kehidupan namun orang-orang masih menganggap bahwa pertanian sebagai pilihan terakhir untuk bekerja.
Hal ini sangat wajar terjadi, mengingat pertanian di Indonesia hanya mampu menyumbang tidak lebih diangka 20% terhadap PDB Indonesia. Bahkan sektor pertanian terus mengalami penurunan. Hal tersebut merupakan imbas dari mulai berkurangnya lahan pertanian yang mulai dialih fungsikan menjadi perumahan. Selain itu banyak anak muda yang mulai meninggalkan kampung halaman mereka untuk mencari pekerjaan di kota – kota besar, di mana mereka menganggap bahwa di kota lebih menjanjikan dibandingkan di desa.
Begitu pentingnya produk pertanian sudah seharusnya Indonesia mandiri dalam memenuhi kebutuhan akan pangan. Disisi lain hal ini juga dapat meningkatkan perekonomian di dibidang pertanian. Sektor pertanian memiliki kaitan erat dengan angka kemiskinan. Di negara berkembang sektor pertanian menjadi mata pencarian utama.
Di Indonesia, diproyeksikan sebagai transforming country atau mengarap lahan kurang dari 0,5 Hektar (tanaman pangan dan holtikultural) dan belum terorientasi pada agrobisnis dan agroindustry pedesaan (Daryanto, 2009: 23-24). Kondisi tersebut pada akhirnya membuat usaha tani tidak feasible dan tidak bankable sehingga pihak perbankan enggan melakukan pembiayaan pada sektor pertanian dan samping itu resiko yang terlalu tinggi. Pola pembiayaan dalam bentuk subsidi kredit ketahanan pangan dan engergi (KKPE), dan konsolidasi lahan pertanian dapat menjadi solusinya (Aviliani, 2012:10).
Alih fungsi lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan yang sedang dihadapi dalam bidang pertanian di Indonesia. Satu hal yang mungkin tidak menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan alih fungsi lahan adalah dampak yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan tersebut. Penurunan produksi pangan yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan lebih bersifat permanen dan sulit untuk diperbaiki. Bagi sektor pertanian, lahan merupakan faktor produksi utama dan tak tergantikan (Maleha dan Susanto, 2006).
Adapun upaya pemerintah dalam mengoptimalkan sumber daya manusia khusunya para petani, antara lain : Mengelar sekolah lapang pertanian (SLP). Dalam program ini, petani diajarkan untuk mengenal tentang organisme penganggu tanaman (OPT) dan cara pencegahannya. Adapun solusi untuk pertanian di Indonesia, antara lain :
- Membuat sumur bor, karena sumur bor lebih hemat dari segi pengunaan lahan. Sumur bor dapat membantu supply sumber air kepada pertanian.
- Pemerintah memberikan kredit cepat dan efektif bagi petani. Sehingga petani dapat menyediakan modal. Karena masalah terbesar bagi petani adalah kurangnya modal.
- Petani banyak mengalihkan fungsi lahan menjadi perumahan dikarenakan mereka menilai kurang efektif dan tidak menguntungkan, hal ini dapat diatasi dengan menerapkan pertanian lahan sempit namun hasil optimal atau hydroponik.
- Kerja sama antara petani dan perhutani selaku penyedia lahan, dimana semua lahan perhutani dapat dikelola oleh petani dan perhutani bertindak sebagai pengawas.
- Kerjasama antara pihak petani, akademisi, dan pemerintah. Dimana petani sebagai tenaga kerja harus berani mengadopsi system pertanian terbaruan dengan bantuan para akedemisi, serta peran pemerintah dalam mengawasi dan penyedia modal.
- Permasalahan over supply dapat diatasi dengan membuat penelitian seluruh wilayah Indonesia dan menerapkan sistem pertanian berdasarkan wilayah. Contoh wilayah Kalimantan subur akan kelapa sawit maka disana semua lahan pertanian ditanami kelapa sawit, lalu pulau jawa subur akan tanaman buah dan pangan seperti beras maka seluruh daerah ditanami buah dan tanaman pangan.
- Menerapkan sistem tanam bukan berdasarkan musim. Hal ini sangat sulit karenan membutuhkan edukasi dan biaya yang cukup tinggi, namun permasalahan gagal panen dan kelebihan penawaran bisa diatasi. Sehingga petani tidak selalu merugi karena terlalu banyak produk namun kurang permintaa.
- Meningkatkan varietas dan hasil produk pertanian. Saat ini produk dalam negeri masih kurang menarik, hal ini bisa diatasi dengan menerapkan tanaman hydroponik yang sehat dan bebas bahan kimia. Seperti yang kita tau, produk luar negeri pasti memiliki sedikit pengawet untuk menjaga kondisi produk agar tetap segar saat sampai di Indonesia.
- Mempersingkat jalur penyaluran produk pertanian. sejauh ini petani selalu pihak yang dirugikan, dimana para tengkulat membeli harga yang murah sedangkan harga pasaran masih cukup tinggi. Sehingga seharusnya pemerintah membuat devisi untuk masing – masing daerah untuk menjaga harga tetap stabil dan petani tidak merasa dirugikan.
Namun solusi di atas tidak bisa di lakukan dengan cara instan namun harus segera dilakukan. Dan untuk menarik kalangan muda agar bertani, maka harus melakukan transformasi sektor pertanian. Bahkan revolusi industri tidak akan tercapai tanpa adanya revolusi pertanian, dikarenakan pertanian adalah sumber energi setiap manusia. Indonesia harus segera mungkin melakukan gebrakan guna mendukung petani di Indonesia. Disisi lain petani di Indonesia kurang terbuka dengan perkembangan teknologi dikarenaka masih besarnya dominasi petani lama atau berumur diatas 50 tahun. Untuk itu harus ada hasilnya terlebih dahulu untuk membuat petani mau mengadaptasi transformasi pertanian tersebut, seperti penggunaan drone untuk memupuk tanaman dan menentukan waktu panen yang tepat. Dan mengkombinasikan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Mengharapkan kemajuan pertanian di Indonesia sepertinya bukan hal yang mudah namun juga bukan hal yang susah. Banyak langkah yang harus dijalankan. Tidak semua kebijakan dapat menemukan hasil yang maksimal namun kerjasama dan kontribusi bukan tidak mungkin bisa membantu semua tercapainya semua rencana. Menurut Rostow (1930) dalam bukunya “The Stage of Economic Growth” menyatakan bahwa kemajuan pertanian mempunyai peranan yang penting dalam masa peralihan sebelum menjadi tahap tinggal landas, antara lain untuk menjamin penyediaan bahan makanan bagi penduduk pedesaan dan perkotaan, menghemat devisa karena impor pangan dapat dihindari dan memperluas pasar dari berbagai kegiatan produksi. Pertanian memiliki peran sebagai leading Sektor dimana sektor atau kegiatan ekonomi yang mengalami pertumbuhan pesar dan menciptakan kekuatan ekspansi ke berbagai sektor yang lain dalam perekonomian.
REFERENSI
Haryanto, Tri. Dkk. 2009. Ekonomi Pertanian. Surabaya : Airlangga University Press.
http://protan.faperta.unej.ac.id/. (September 19, 2020). Penerapan Pengelolaan Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia. Diakses pada 17 Maret 2021. http://protan.faperta.unej.ac.id/penerapan-pengelolaan-sistem-pertanian-berkelanjutan-di-indonesia/
https://kanal24.co.id/. (19 Mei, 2020). Menengok Petanian di Jepang. Diakses pada 17 Maret 2021.https://kanal24.co.id/read/menengok-pertanian-di-jepang
https://www.liputan6.com/. (04 Februari, 2020). Luas Lahan Sawah Indonesia Bertambah Jadi 7,4 Juta Ha. Diakses pada 18 Maret 2021.
https://www.liputan6.com//bisnis/read/4171408/luas-lahan-sawah-indonesia-bertambah-jadi- 74-juta-ha.
https://kumparan.com/. Sudah Sejauh Mana Perkembangan Pertanian Indonesia. Diakses pada 18 Maret 2021. https://kumparan.com/venture/sudah-sejauh-mana-perkembangan-pertanian-indonesia- 1553784660662469046
https://surveymeter.org/id/read/366/minat-generasi-muda-pada-pertanian-terus-menurun
https://www.kompas.com/. (12 Februari, 2021). Kawal Distribusi Pupuk Bersubsidi, Kementan Tetapkan Kebijakan Minim Risiko. Diakses pada 18 Maret 2021.https://money.kompas.com/read/2021/02/12/095228726/kawal-distribusi-pupuk-bersubsidi- kementan-tetapkan-kebijakan-minim-risiko.
https://surveymeter.org/. ( 15 November, 2016). Minat Generasi Muda pada Pertanian Terus Menurun. Diakses pada 19 Maret 2021. https://surveymeter.org/id/read/366/minat-generasi-muda-pada-pertanian-terus-menurun